Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Menara pengusung mayat upacara ngaben di Bali, biasanya menjadi perhatian utama masyarakat penonton saatdiarak menuju kuburan, ke tempat
pembakaran. Namun, sejatinya di tengah histeria keriuhan penggotongan bade atau wadah yang indah dan megah itu, terselip suatu religi hakiki yang paling esensial yang ditandai kehadiran burung Cendrawasih.

Burung yang habitatnya di tanah Papua tersebut, diacungkan dan dikibaskan oleh seorang tokoh spiritual yang berdiri pada sisi badan bade. Ritual dengan menggunakan replika burung berbulu elok ini disebut dengan pengubes-ubes. Burung Cendrawasih yang di tengah masyarakat Hindu di Bali disebut Manuk Dewata ini merupakan simbolisme yang diyakini sebagai mengantar atau memberi arah kepada roh orang yang diaben menuju surga.

Burung Cendrawasih dapat dipergoki menyanyi dan menari di belahan timur Nusantara, khususnya di pulau yang oleh Bung Karno, pernah diberi nama Irian- akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Sementara itu, walau masyarakat Pulau Dewata
menjadikan burung Jalak Putih sebagi maskotnya, namun justru mengusung takzim burung Cendrawasih dalam upacara Pitra Yadnya, sebuah ritual penting, dimana yang menjaditm tujuan utama dari penyelenggaraannya adalah untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal agar mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan.

Baca juga:  Toleransi Jangan Terusik, Ini Upaya yang Mesti Dilakukan

Filosofi religius umat Hindu ini diperkokoh oleh guratan mitologi yang menuturkan burung Cendrawasih sebagai burung para dewa. Bulu burung Cendrawasih yang warna-warni memesona, diibaratkan bidadari kahyangan yang bertugas menuntun sang roh ke alam dewa.

Bulu-bulu jenis burung paradisacidae ini menjadi ornamen khas pakaian adat masyarakat Papua. Bird of Paradise ini terdiri dari 40-an spesies, salah satunya yang terkenal adalah Cendrawasih kuning-besar-sang pejantannya suka pamer kemolekan bulu saat memancing balasan asmara dengan lawan jenisnya.

Bagaimana kemesraan percintaan burung Cendrawasih jantandm dan betina di pedalaman hutan Irian Jaya—nama pemberian Presiden Soeharto pada tahun 1973, banyak menggugah terciptanya beragam ekspresi seni di Tanah Air, seperti dalam ungkapan tari, musik, puisi, seni rupa hingga teater.

Papua yang berarti rambut keriting—nama ini dikembalikan lagi oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gur Dur) tahun 1999—dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya, tidak sedikit dijadikan sumber inspirasi karya seni para pegiat kesenian di Bali.

Baca juga:  Segini Tunggakan Iuran BPJamsostek Banuspa, Mayoritas Sektor Jasa dan Perhotelan

Empu seni I Gede Manik telah kepincut dengan keindahan burung Cendrawasih semasih Papua menjadi jajahan Belanda. Pencipta Tari Tarunajaya asal Desa Jagaraga, Sawan, Buleleng ini, sekitar tahun 1920-an menciptakan genre tari kebyar yang diberinya nama Tari Cendrawasih.

Kejelitaan burung sorga tanah Papua itu memancar abadi, mengilhami seniman Bali masa kini. Pada tahun 1988 kembali muncul karya tari penggambaran burung Cendrawasih namun sama sekali tidak ada kaitannya dengan tari garapan Gede Manik itu.

Tari Cendrawasih yang dikonsepsi secara berpasangan ini adalah ciptaan N.L.N Swasthi
Widjaja Bandem (koreografer) bersama I Nyoman Windha (komposer). Kemesraan Papua dengan Bali tak hanya di sekitar kesamaan memuliakan burung
Cendrawasih saja, namun juga bergesekan langsung, khususnya dalam aktivitas seni budaya.

Pada pembukaan PKB tahun 2013, 100 orang insani seni dan budaya tanah Papua tampil memukau di urutan pawai terdepan. Kemudian pada tahun 2019, masih dalam forum PKB, sejumlah pegiat seni Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua menggelar
pentas seni, berkolaborasi dengan seniwati Putri
Suastini Koster yang tampil membawakan puisi
bertajuk “Aku Papua”.

Baca juga:  Gen Z, Kesehatan Mental dan Isu Ekonomi

Unjuk rasa persaudaran Bali dengan Papua, berlangsung dari hati ke hati, secara damai, melalui jembatan jagat seni budaya. Tampak dari panggung pesta seni, PKB 2021, garapan seni pertunjukan tim kesenian Poltabes Denpasar yang melibatkan para mahasiswa asal Papua yang studi di Bali, membuat haru para penonton di Art Centre.

Lagu yang berjudul “Papua Ring Hati” ciptaan seorang polisi, I Gede Ganefo, dalam sajian paduan suara, sungguh menyentuh hati. Simaklah liriknya. “Sang surya medal saking kangin, menyinarain tanah suci nirmala, satmaka pusaka sakti, sane ten wenten tandingane. Nike wantah jagat Papua, sane sampun kasub budayane, Papua tanah Indonesia, sane wenten ring sejeroning hati. Tanah Papua sane teduh lan landuh, Papua semeton irage sami, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya. Tanah Cendrawasih mautame, Papua tanah semeton sami, saling asah asih lan asuh, Papua setate ring hati, kebanggaan bangsa Indonesia”.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *