I Nyoman Rutha Ady. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H., M.H.

Desember adalah bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh kalangan pelaku pariwisata. Sebelum pandemi
Covid-19 meluas melanda dunia, akhir tahun merupakan momentum liburan wisatawan dari semua belahan dunia yang ingin melepas kepenatan beraktivitas sepanjang tahun dengan memilih tempat-tempat liburan terkenal di dunia.

Bali merupakan daerah tujuan wisata internasional yang menjadi salah satu pilihan wisatawan asing dan domestik untuk berlibur bersama keluarga. Berbagai kendala menghambat niat calon wisatawan untuk melakukan perjalanan mengisi liburan akhir tahun.

Pengetatan mobilitas dan aktivitas masyarakat yang
diatur oleh pemerintah di masing-masing negara
berkaitan dengan upaya pencegahan munculnya
pandemi baru, menjadi salah satu hambatan
bagi calon wisatawan dan masyarakat untuk
merayakan pergantian tahun. Pergantian tahun
biasanya diwarnai kemeriahan pesta kembang
api serta menikmati hiruk-pikuk pesta di tempat-tempat hiburan, hotel dan pantai sebagaimana
berlangsung setiap tahun sebelum pandemi
Covid-19 melanda dunia.

Masyarakat di daerah tujuan wisata yang biasanya juga menikmati rezeki setiap Desember, tetapi sejak tahun lalu tidak bisa meraup rezeki lagi. Di antaranya pengelola objek-objek wisata, bisnis toko cenderamata, money changer (penukaran mata uang/valuta asing), pengusaha transportasi, restoran, pertunjukan budaya, pedagang minuman di pantai dan jenis-jenis aktivitas lainnya yang berkaitan dengan keberadaan wisatawan di Bali.

Baca juga:  Manajemen Talenta, Kunci Daya Saing Bangsa

Bagi pengelola hotel dan vila, pertengahan Desember hingga memasuki tahun baru biasanya menikmati rezeki kamar penuh dengan special rate (harga khusus) yang jauh lebih tinggi dari tarif kamar normal.
Namun sejak tahun lalu panen momentum Nataru sudah tidak pernah dirasakan lagi.

Janji bahwa November 2021 turis asing akan
datang hanya retorika. Justru faktanya bertolak belakang. Pemerintah justru memperketat
masuknya orang asing ke Bali dengan menolak dirrect flight (penerbangan langsung) dan mengharuskan transit di Jakarta.

Pembukaan Bandara Internasional Ngurah Rai
untuk penerbangan internasional bagi pesawat
luar negeri meskipun terbatas dari sejumlah
negara yang kasus pandemi COVID-19 di negara
tersebut sudah melandai, semestinya menjadi
salah satu alternatif pilihan yang bisa dilakukan
oleh pemerintah pusat. Apalagi Oktober 2022 akan dilaksanakan pertemuan puluhan pemimpin negara-negara yang tergabung dalam G-20 di Bali.

Baca juga:  Siwaratri, Bukan Ritual Pegadaian

Paling tidak awal tahun depan Januari 2022 pemerintah sudah bisa memberikan peluang dan ruang bagi penerbangan luar negeri untuk mendarat langsung di Bandara Ngurah Rai. Insan pariwisata
Bali juga harus turut aktif berjuang dengan memberikan keyakinan kepada pemerintah bahwa sektor pariwisata tidak bisa dibiarkan seperti saat ini.

Alasannya, apabila semakin lama pariwisata tidak
bisa dipulihkan alias sakit, pemerintah juga akan
terdampak dengan berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari investasi, Pajak Hotel dan Restoran (PHR) pajak daerah dan retribusi lainnya.

Semestinya momentum Desember ini dijadikan titik balik untuk menghidupkan kembali geliat kepariwisataan dengan datangnya liburan akhir tahun. Industri pariwisata sudah sejak lama berbenah menyesuaikan diri dengan melengkapi fasilitasnya sesuai petunjuk protokol kesehatan.

Apalagi banyak calon wisatawan dari luar negeri yang setiap tahun selalu memilih Bali sebagai tempat mengisi waktu liburannya. Potensi pasar yang begitu besar patut direbut sehingga rezeki bulan Desember tidak hanya menjadi harapan semata.

Baca juga:  Peran Kelitbangan Menuju Kenormalan Baru

Tinggal hitungan hari tahun 2021 akan meninggalkan kita. Harapan demi harapan untuk pulihnya sektor pariwisata selalu di saat perubahan tahun.

Mungkinkah tahun 2022 akan memberi kepastian kepada masyarakat bahwa pariwisata Bali akan bangkit kembali? Siapapun tidak mampu memberikan jawaban akibat janji-janji sebelumnya yang tidak pernah terwujud.

Hanya pemerintah pusat sebagai otoritas penentu kebijakan publik yang bisa menjawabnya. Dalam konteks penanggulangan pandemi Covid-19 apapun keputusan pemerintah pusat, wajib menjadi rujukan dan diikuti tegak lurus secara vertikal oleh pemerintah provinisi, kabupaten dan kota. Ironisnya, pemerintah masih memprediksi bisnis pariwisata dengan segala aktivitasnya tetap berpotensi menimbulkan kerumunan sehingga membatasi langkah-langkah
pemangku kebijakan di bidang pariwissata dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
kontraproduktif.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, tinggal
di Legian Kuta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *