I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Secara umum seni di Bali dibagi menjadi tiga (3): wali (sakral), bebali (semisakral) dan balih-balihan (profan). Kini patut ditambahkan lagi dua (2), yaitu seni (bernuansa) magi, mengandalkan energi illahi untuk melindungi diri seperti tari sanghyang jaran atau saat penari menusuk diri dengan keris (ngunying/ngurek), dan satu lagi seni (beraroma) birahi, apa lagi kalau bukan jenis tarian striptis ala joged bumbung beraroma porno.

Joged Bumbung jenis ini tergolong seni tari pergaulan yang menonjolkan gerakan penari sensualis lengkap dengan goyangan erotis sebagai daya magnetis sekaligus penglaris. Pertunjukannya dianggap sukses jika antara penari joged dan pengibing berhasil memeragakan gerakan yang memantik adrenalin (libido) berupa pancingan ke arah bangkitnya hasrat seksual secara terbuka, di hadapan penonton dari berbagai lapisan, termasuk anak dibawah umur yang tak jarang tersedot juga gairahnya untuk ikut-ikutan
ngibing.

Apa yang dipertontonkan dan bahkan kemudian direkam lalu diunggah lewat media sosial, khususnya kanal youtube, hingga beredar dan tersebar luas lanjut menjadi objek tontonan khalayak, sejatinya menggambarkan betapa telah terjadi distorsi dan degradasi terhadap nilai luhur nan agung kesenian tari bernama Joged Bumbung ini.

Baca juga:  Melindungi Ketahanan Pangan

Joged Bumbung, sejatinya adalah seni pertunjukkan (balih-balihan) bernuansa pergaulan, semata-mata untuk penghiburan. Namun sejak dekade tahun 80-an justru bertransformasi menjadi media penghancuran terhadap keluhuran dan kemuliaan budaya Bali yang adiluhung.

Tontonan yang ditampilkan Joged Bumbung yang kini
diberi label sebagai joged porno atau joged jaruh ini tampaknya sudah kehilangan tuntunan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menguatkan tatanan pergaulan dalam kehidupan yang semakin banyak tantangan dan tentangan dalam soal pengagungan nilai etika (moral) selain estetika. Masyarakat Bali yang dikenal berkarakter sosialistis religius, kuat sradha bhaktinya, berdasar atas landasan tattwa (filosofi), terutama etika (susila) sosial seakan dijatuhkan derajat dan martabatnya oleh sebuah seni pertunjukan joged yang jauh dari pakem.

Bahkan telah meruntuhkan harkat pencipta seni yang mengamanatkan kehalusan budi pekerti sebagai obsesi. Hanya demi penglaris sekaligus perolehan pipis penari joged harus “relaksa”– rela dipaksa untuk terus senyum manis bergaya sensualis plus bergoyang erotis demi memancing hasrat kama (keinginan) pengibing, meski harus di-ambis (dirambah) dan di-bisbis (dijamah) bagian organ vital yang sejatinya sebagai simbolis kehormatan (harga diri).

Baca juga:  Pengungsi di Tejakula Dihibur Joged Bungbung

Sungguh miris, hati terasa teriris — memalukan dan memilukan, bukan?

Ini sebuah dilema yang berawal dari fenomena kini bergerak menjadi realita sekaligus melahirkan problematika perihal keterancaman pakem Joged Bumbung dari keruntuhan nilai filosofi pergaulan normatif berlandaskan etika/susila berkembang ke arah ekspresi seni bercitra negatif bahkan destruktif. Tak kurang Gubernur Bali Wayan Koster dibuat geram lalu mengecam bahkan mengancam keberadaan Joged Bumbung berkonten pornografi dan pornoaksi ini agar segera ditindak tegas oleh aparat berwenang termasuk ke tingkat Bendesa Adat selaku penegak nilai-nilai keluhuran budaya Bali.

“Kami mengecam dan sangat menyayangkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menampilkan kesenian Joged Bumbung dengan sengaja mempertontonkan adegan yang tidak terpuji, melanggar etika dan kesantunan tari Bali. Untuk itu aparat yang berwenang, Bupati/Wali Kota, Lurah, Perbekal dan Bandesa Adat agar mengambil tindakan tegas dan langkah penertiban” (BP, 2/12).

Baca juga:  Bhisama Kawasan Suci Pura: Quo Vadis PHDI?

Apalagi pada tanggal 1 Oktober 2021 telah
diterbitkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali No. 6669 Tahun 2021, sebagai upaya melindungi dan melestarikan kesenian Joged Bumbung sesuai
dengan pakem tari Bali, nilai-nilai adat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali. Sehingga kepada seluruh masyarakat tidak boleh lagi melecehkan kesenian Joged Bumbung sebagai seni tradisi Bali warisan budaya Leluhur.

Lebih-lebih kesenian joged ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 2015. Sudah sepatutnya masyarakat Bali wajib melestarikan, melindungi, dan memuliakannya. Hal itu sejalan dengan visi pembangunan Bali, Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang menjadikan kebudayaan sebagai hulu pembangunan, sehingga semua objek kebudayaan harus dilindungi.

Untuk itu, segenap warga masyarakat, seniman, dan budayawan harus turut mendukung serta berperan aktif menghormati, melindungi dan melestarikan kesenian Joged Bumbung yang tidak hanya memiliki nilai estetika tinggi, tetapi wajib juga menampilkan norma etika/susila luhur.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *