Prof. Ketut Suda. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Suda

Masyarakat dunia, termasuk Indonesia saat ini sedang menghadapi ujian hidup yang luar biasa. Selain menghadapi wabah pandemi COVID-19, juga berhadapan dengan epidemi global yang bercirikan teknologi cyber dengan berbagai dimensi positif dan negatifnya.

Teknologi cyber sebagai turunan dari revolusi industri 4.0 telah menjelajahi ruang sekurang-kurangnya dalam skala global, dan menggapai waktu sampai batas terjauhnya mendekati kecepatan cahaya (Piliang, 2004:95). Akibatnya, kecepatan kini tidak hanya menjadi ukuran kemajuan peradaban umat manusia, tetapi juga telah menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam kehidupan kontemporer.

Bagi masyarakat kebanyakan menghadapi percepatan dunia yang super speed ini, tentu bagaikan makan buah simalakama. Artinya, jika diikuti seakan tidak punya kuasa, dan jika tidak diikuti akan tergilas oleh roda percepatan itu sendiri.

Lalu bagaimana kiat untuk menghadapi himpitan kedua era tersebut, yakni pandemi Covid-19 yang mematikan, dan epidemi global yang melanda dunia ini tanpa membedakan ras, suku, agama, dan golongan?

Baca juga:  Cegah Kejahatan Skimming, Ini yang Akan Dilakukan Polri

Pertama, terkait keberadaan pandemi Covid-19 mau tidak mau, suka tidak suka, harus bisa hidup berdamai dengan wabah tersebut, yakni dengan mengikuti protokol kesehatan dalam setiap aktivitas kehidupan. Kedua, terkait dengan munculnya epidemi global,
masyarakat harus berusaha mengikuti dinamika perkembangan budaya global dengan melakukan saringan ketat terhadap berbagai budaya asing yang masuk ke wilayah di mana mereka hidup.

Caranya, betapapun majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang konon dapat membuat gaya hidup manusia modern semakin nyaman, ajaran agama sebagai pedoman hidup manusia, termasuk manusia
modern tidak dapat diabaikan. Dengan meminjam terminologi Komaruddin Hidayat (2012) yang mengatakan agama memiliki seribu nyawa, maka harus dipahami bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut harus diimbangi dengan
ajaran agama yang diyakini oleh pemeluknya sebagai sumber ketenangan yang dapat memberikan arah dan makna tentang hakikat kehidupan yang sesungguhnya.

Baca juga:  Mengapa Harus Berunjuk Rasa?

Memang di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, lahir berbagai pandangan menyangakut eksistensi kehidupan beragama. Salah satunya mengatakan agama merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi oleh manusia.

Bahkan pandangan yang lebih ekstrem mengatakan bahwa “Tuhan telah mati dan era agama telah berlalu” (Quraish Shihab, dalam pengantar Buku “Agama Punya Seribu Nyawa” karya Komaruddin Hidayat, 2012:xiii). Namun, dalam kenyataannya ajaran agama sampai saat ini masih diyakini sebagai kebenaran yang pasti, yang tentu berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan atau filsafat yang mengandung berbagai kemungkinan dan selalu menyisakan ruang
keraguan.

Berangkat dari fenomena tersebut, yang ingin dikatakan adalah betapa pentingnya kehidupan beragama dilakoni masyarakat manusia dalam berbagai dinamika zaman. Salah satunya dilakukan melalui ritual berdoa.

Baca juga:  Menghadapi Badai Krisis

Sebab berdasarkan pengalaman empiris, ada beberapa dorongan psikologis yang melatari manusia melakukan doa. Pertama, adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya, jika dibandingkan dengan
keberadaan alam semesta yang mahabesar dan penuh misteri; Kedua karena adanya rasa kagum atau thauma melihat keagungan, kebesaran, dan keindahan semesta ini yang semua rahasianya ada di tangan Tuhan.

Dari adanya keagungan semesta inilah kemudian manusia terpesona melihatnya lalu mereka melantunkan doa-doa pujian sebagai ekspresi dari ungkapan rasa terima kasihnya kepada tuhan atas segala ciptaan-Nya untuk memenuhi segala kebutuhan manusia itu sendiri. Ketiga, atas dasar
kekaguman inilah lahir penalaran logis dan sikap keberagamaan pada manusia yang intinya menyatakan bahwa semesta ini pasti ada penciptanya yang maha agung, sehingga manusia mesti bersyukur kehadapan-Nya.

Penulis, Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *