Petani sedang membajak sawah. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian Bali, khususnya sawah dan subak kini sedang terancam. Ibaratnya sedang sekarat karena berbagai persoalan yang melanda.

Menurut Guru Besar Pertanian Unud, Prof. Wayan Windia, Jumat (10/9), sawah dan subak di Bali dibangun dengan berdarah-darah oleh Ida Rsi Markandya pada Abad ke- 11. Kemudian pada Abad ke-19, sawah dan subak dipertahankan dengan berdarah-darah dalam perang Kerajaan Badung dan Kerajaan Mengwi.

“Kini, setelah UNESCO mengakui subak sebagai warisan dunia pada Abad ke-21, maka jangan biarkan sawah dan subak di Bali “mati berdarah-darah,” pintanya.

Ada dua hal yang perlu dilakukan dalam upaya untuk menyelamatkan pertanian Bali. Yaitu, irigasi harus terjamin dan pembebasan bayar pajak PBB (disubsidi 100 persen).

Ia mengatakan, kedua hal itu mencuat ketika diadakan survey persiapan pengusulan Subak sebagai warisan dunia. “Pada umumnya petani hanya minta dua hal. Pertama, air irigasinya harus terjamin, dan kedua harus bebas bayar pajak PBB yang disubsidi 100 persen. Itulah permintaan pokok petani, agar mereka senang dan nyaman sebagai petani,” tegasnya.

Menurutnya, permintaan petani itu adalah permintaan yang wajar dan sederhana. Karena pertanian memerlukan air irigasi.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Terus Melandai, Zona Risiko Bali Membaik

Oleh karenanya, untuk menyelamatkan sistem pertanian di Bali, sistem irigasi di Bali harus diselamatkan. Sebab, banyak sekali petani harus menjual sawahnya, karena tidak ada air irigasi yang mengalir lagi.

Ada info kasus di Subak Bongan, Tabanan. Di bagian hulu ada pembangunan properti. Tapi dalam proses pembangunan itu, saluran irigasi yang mengalirkan air ke hilir, ikut di tembok.

“Ya, tentu saja petani di Subak Bongan mengeluh, karena air irigasinya menurun drastis. Keluhan sama sekali tidak digubris. Maka akhirnya petani di Subak Bongan, menjadi “mati” perlahan. Subak Bongan akhirnya menjadi mangsa kaum investor. Kasus yang sama pernah juga terjadi di Kesiman, di Jalan Sedap Malam, dll, yang akhirnya menimbulkan konflik,” ujarnya.

Dikatakan, hal ini terjadi karena dalam proses alih fungsi lahan sawah, pihak Kelian Subak (Pekaseh) tidak diikutkan oleh BPN. Seharusnya pihak BPN meminta persetujuan Pekaseh, bila terjadi alih fungsi lahan sawah.

Jangan meminta pengesahan alih fungsi lahan sawah kepada pihak yang lain, yang tidak paham sistem sawah. Sebab, para pekaseh pasti paham, mana saluran irigasi yang harus tetap dipertahankan, agar air irigasi bisa terus mengalir ke hilir.

Baca juga:  Puluhan Motor Sewaan Digadai, 2 IRT Ditangkap

“Selama pihak BPN tidak merubah proses administrasi dalam proses alih fungsi lahan sawah, maka subak di Bali pasti akan mati dan habis. Hal semacam ini sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan seminar, di mana pejabat BPN juga hadir. Tetapi tetap saja prosesnya tidak berubah,” keluhnya.

Selain itu, lanjut Prof. Windia, bahwa saat ini air irigasi juga banyak digunakan untuk kegiatan lain. Misalnya, untuk perusahan air minum dalam kemasan, untuk pabrik, untuk PDAM, untuk proyek air bersih pedesaan, dan lainnya.

Semua proyek tersebut sangat menyakiti petani, karena air irigasinya sangat menurun. “Jadi, proyek-proyek yang dibangun, pada umumnya sangat menyakiti petani. Bahkan pembangunan bendungan yang dikonotasikan sebuah proyek untuk petani, ternyata tidak demikian kenyataannya di lapangan. Subak dan petani selalu kalah melawan kekuasaan,” ujarnya.

Namun demikian, Bali beruntung memiliki lembaga tradisional yang disebut Subak. Sistem subak ini dapat mengatur agar air yang tersedia di kawasan subak. Yakni mendistribusikan secara adil kepada anggotanya.

Baca juga:  Usai Lebaran, Tim Yustisi Jaring 39 Orang Pelanggar Prokes

Meskipun air hanya tersedia 30-35%. Misalnya, dengan cara saling pinjam air irigasi, atau dengan cara rotasi penanaman padi. Tetapi, petani (pekaseh) saat ini berada dalam keadaan terjepit kemiskinan struktural.

Mereka tidak ada gairah untuk bertani, dan mengelola subak. “Kalau saja tidak ada pandemi Covid-19, kemungkinan sawah-sawah di Bali sudah akan habis pada tahun 2030 sesuai ramalan Dr. Made Geriya,” tandasnya.

Permintaan petani agar mereka bisa dijamin air irigasinya adalah permintaan yang lugu dan sederhana. Tetapi betapapun lugu dan sederhananya, kalau pemerintah daerah tidak ada perhatian pada pembangunan pertanian, maka petani, sawah, dan subak di Bali akan habis.

Oleh karenanya, Prof. Windia mendorong agar pemerintah di Bali mengembangkan konsep Swi Kerthi, atau penghormatan kepada sawah. Di sawah ada aktivitas kebudayaan, teknologi sosial, dan bahkan peradaban.

Sawah jangan diremehkan. Sawah jangan dengan sengaja dibabat-babat, untuk sekedar pembangunan fisik. Oleh karenanya, jaminlah air irigasi petani Bali. Dengan demikian petani akan senang dan nyaman bertani. Hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan subak, yang telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *