Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Banyak pihak lupa bahwa industri pariwisata Bali pada dasarnya berawal dari eksotiknya kehidupan pertanian dan alam Bali. Utamanya sejak Walter Spies -seorang pelukis dan musikus Jerman- menetap di Bali dan menebarkan lukisan bertema alam pertanian Bali. Eksotisme alam pertanian Bali tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali melalui pintu utama Pelabuhan Buleleng, kemudian melakukan perjalanan ke seluruh pelosok Bali, Tahun 1924 wisatawan secara khusus datang ke Bali menggunakan jalur pelayaran Bali Express sebagai prakarsa Koninklijke Paketcart Maatsckapy (KPM) atau Maskapai Pelayaran Kerajaan Belanda.

Pariwisata itu pada hakikatnya bukan jati diri Bali. Jati diri Bali itu adalah budaya pertanian, sebagaimana tercermin dalam filosofi kehidupan krama Bali Tri Hita Karana. Budaya pertanian menjadi denyut nadi keseharian krama Bali. Dalam keseharian kehidupan krama Bali jelas terlihat sejalan dengan tatanan musim, sebagaimana siklus pertanian.

Baca juga:  Indonesia Darurat Kenegarawanan

Kegiatan kehidupan keseharian krama Bali selalu dipenuhi upakara dalam bingkai hitungan alam. Sejak triwara, panca wara, sapta wara, wuku hingga sasih. Situasi ini terlihat dari seringnya terjadi benturan antara aktivitas sebagai pelaku pariwisata yang mengacu kalender Masehi dengan aktivitas kehidupan krama Bali yang mengacu pada tatanan musim bertani.

Pertanian Bali sudah menjadi mata pencaharian utama krama Bali jauh sebelum pariwisata menjadi penggerak roda ekonomi Bali. Hanya di Bali ada tempat sembahyang di area ladang pertanian, berupa palinggih atau pelangkiran.

Ratusan pura megah juga telah dibangun krama Bali, murni dari hasil keringat sendiri dalam bertani tanpa ada campur tangan asing. Pandemi Covid-19 telah membuat ekonomi Bali mati suri. Semakin nyata bahwa ekonomi Bali saat ini tidak bisa mandiri. Tanpa kita sadari, selama ini sebenarnya ekonomi Bali sangat bergantung pada para pendatang dari luar Bali, sebagai wisatawan. Para pendatang ini telah menjadikan ekonomi Bali bergerak menggeliat hingga ke pelosok Pulau Bali.

Baca juga:  Membangun Pola Pikir Gen Z

Covid-19 mengajak krama Bali mulat sarira. Budaya bertani krama Bali telah melahirkan tatanan fisik eksotik lahan sawah berundak yang mendunia, beserta tatanan manajemen air subak yang diakui sebagai warisan budaya dunia. Tradisi bertani, kesenian, handicraft dan upakara, adalah manifestasi jati diri kehidupan kebudayaan krama Bali.

Budaya bertani krama Bali sebagai jati diri Bali harus dijalankan sesuai konteks masa kini. Pertanian harus dikerjakan dengan sentuhan teknologi tinggi, sejak pembibitan, pembudidayaan, hingga pascapanen. Harus ada perubahan paradigma para stakeholders dalam memahami pertanian, agar bidang ini dapat kembali menjadikan ekonomi Bali yang mandiri.

Pertanian harus berwujud smart-farming dengan sentuhan digital technology. Harus mencakup unsur agro-teknologi (teknologi tanah dan yang dibudidayakan), agroindustri (industri & teknologi pengolahan hasil pertanian), dan agrobisnis (optimalisasi profit bidang pertanian secara menyeluruh, sejak bibit, pupuk, peralatan, budidaya, hingga pemasarannya). Terpilihnya Indonesia sebagai Official Country Partner (Negara Mitra Resmi) Hannover Messe 2021, menjadi peluang terbukanya jaringan peningkatan investasi dan kerjasama strategis digital technology.

Baca juga:  Sugihan : Tangi-Sugi-Suci

Hannover Messe 2021 sebagai ajang pameran industri digital menjadi ajang memperkenalkan road map pengembangan indrastruktur digital Indonesia dengan tagline Making Indonesia 4.0, utamanya bagi digital start up bidang pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor primer yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap guncangan ekonomi.

Hakikatnya budaya pertanian memang menjadi jati diri krama Bali. Hal ini jelas termanifestasi dari tingginya kebutuhan hasil pertanian –utamanya sarana upakara-, dari kebun, ladang, dan sawah, dalam keseharian kehidupan krama Bali.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *