Wawan Kurniawan, ST Lingkungan. (BP/Istimewa)

Oleh Wawan Kurniawan, ST Lingkungan

Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih sebenarnya hadir dengan niat mulia. Tujuannya jelas, mengurangi volume sampah plastik di Pulau Dewata yang selama ini menjadi masalah kronis.

Sayangnya, tekad luhur tersebut harus tercemar lantaran klausul pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter.

Niat baik itu berisiko menjadi kebijakan salah arah, karena tidak menyentuh akar persoalan. SE juga sekaligus bisa berdampak buruk pada industri daur ulang dan ekosistem tenaga kerja di sektor persampahan yang notabene rakyat kecil

Alih-alih menyelesaikan persoalan plastik, pelarangan ini justru berpotensi mematikan rantai ekonomi sirkular, terutama pelaku usaha kecil daur ulang, pemulung, hingga sektor informal pengelolaan sampah yang bergantung pada volume plastik PET, termasuk dari botol berukuran kecil.

Air kemasan kecil menjadi salah satu bagian penting dalam siklus daur ulang karena menggunakan plastik PET (polyethylene terephthalate). Ini merupakan jenis plastik yang paling mudah dan paling banyak didaur ulang di Indonesia.

Data Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesian Plastic Recyclers (IPR) per April 2025 menyebutkan bahwa daur ulang pasca konsumsi untuk plastik jenis PET botol mencapai 71 persen dan HDPE rigid sebesar 60 persen. SWI dan IPR menilai bahwa ini menjadi sebuah capaian tinggi yang menjadi harapan dalam upaya mengurangi sampah nasional.

Baca juga:  Adat Tradisi Vs Modernisasi Bali

Artinya, jika kemasan ini dilarang maka mata rantai pengumpulan dan produksi ulang akan terganggu sehingga berdampak langsung pada turunnya volume bahan baku industri daur ulang nasional.

Dalam jangka menengah, ini bisa menyebabkan penutupan fasilitas pengolahan dan hilangnya ribuan lapangan kerja, terutama di sektor yang menyerap tenaga kerja tidak terampil dan berpendapatan rendah.

Industri Daur Ulang

Data Asosiasi Daur Ulang Indonesia (ADUPI) yang mengutip catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada 2023 menyatakan bahwa populasi industri daur ulang plastik di Indonesia sekitar 241 industri dengan nilai investasi mencapai Rp 20 triliun dan kemampuan produksi sebesar 2,54 juta ton per tahun. Saat ini, industri daur ulang di tanah air mampu menyerap tenaga kerja hingga 3,3 juta orang.

Dengan potensi yang terus berkembang, industri daur ulang (sampah botol plastik) dipastikan akan berperan besar terhadap lingkungan dan sekaligus pertumbuhan ekonomi negara. Terlebih dengan adanya upaya pemerintah untuk mengurangi sampah plastik di lautan sampai 70 persen di tahun 2025, peluang tumbuh pun kian besar.

Data SWI dan IPR menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik mencapai 19 persen. Total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp 19 triliun/tahun.

Melihat dampak perekonomian dan pentingnya peran daur ulang plastik dalam pengelolaan sampah, diperlukan kolaborasi aktif lintas sektor, termasuk edukasi konsumen dalam memilah sampah dari sumber, transparansi pelaporan daur ulang secara nasional, serta inovasi teknologi untuk mendorong daur ulang plastik.

Baca juga:  Mengatasi Stres Digital Siswa

Melarang jenis plastik yang paling banyak didaur ulang justru akan melemahkan ekonomi sirkular yang selama ini terus diperjuangkan pemerintah pusat. Selain aspek ekonomi, efektivitas pelarangan air kemasan kecil dalam mengurangi sampah plastik juga dipertanyakan.

Menurut laporan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, pada 2024 terdapat 34 juta ton sampah pertahun yang dihasilkan secara nasional; sampah plastik hanya menyumbang sekitar 19,65 persen. Botol PET hanya sebagian kecil dari total sampah plastik itu.

Jenis sampah plastik lainnya seperti kemasan makanan multilayer, sachet, dan plastik film yang justru lebih sulit didaur ulang dan mendominasi tempat pembuangan akhir. Jika kebijakan ini ditujukan untuk menyelesaikan persoalan sampah plastik, maka fokus seharusnya diberikan pada pengelolaan menyeluruh, bukan hanya melarang satu jenis kemasan.

Mengubah Perilaku Masyarakat

Lebih penting dari melarang, adalah mengubah perilaku masyarakat. Sampah plastik tidak serta-merta menjadi masalah ketika dikelola dengan baik. Pemilahan sejak dari rumah tangga, edukasi membuang sampah pada tempatnya, serta memperkuat ekosistem daur ulang adalah solusi yang lebih masuk akal dan berkelanjutan.

Dalam konteks Bali yang selama ini dikenal sebagai laboratorium kebijakan lingkungan, sudah saatnya pendekatan berbasis transformasi budaya dan partisipasi publik yang dikedepankan, bukan pelarangan sepihak. Mengubah perilaku konsumen dan memperkuat manajemen sampah jauh lebih strategis daripada menghukum satu jenis produk.

Baca juga:  Bagaimana Sistem Pemilu Proporsional Konstitusional?

Lebih dari itu, jika tujuannya adalah mengurangi sampah plastik, maka larangan terhadap air kemasan kecil tidaklah cukup. Karena masih banyak jenis sampah plastik lain yang jumlah dan dampaknya tidak kalah besar. Tanpa regulasi menyeluruh dan strategi penanganan terpadu, larangan ini akan menjadi kebijakan simbolik yang gagal menjawab substansi.

Kebijakan publik idealnya disusun dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem ekonomi dan sosial, tidak hanya aspek lingkungan semata. Dalam konteks ini, pelaku industri daur ulang, pekerja sektor informal, dan UMKM air minum kemasan adalah bagian dari solusi, bukan pelaku yang patut disingkirkan.

Pemerintah Provinsi Bali punya modal sosial dan budaya yang besar untuk memimpin transformasi perilaku. Namun arah kebijakannya perlu lebih menyeluruh, adil, dan berdasarkan data.

Larangan sepihak atas kemasan kecil bukan jawaban jangka panjang, apalagi jika mengorbankan rantai kerja yang telah berkontribusi positif pada pengurangan sampah plastik nasional.

Dalam semangat menjaga Bali tetap lestari, mari beranjak dari pendekatan simbolik ke solusi yang sistemik: mengelola, bukan menghapus; memberdayakan, bukan melarang.

Penulis adalah Dosen Trisakti, Pemerhati Lingkungan

BAGIKAN