Romi Sudhita. (BP/Istimewa)

Oleh Romi Sudhita

Ketika kuliah dahulu, ada seorang dosen yang amat “fanatik” dengan informasi. Sedikit-sedikit yang diomongin adalah informasi.

Sampai pada pembicaraaan yang menyinggung rencana penyusunan karya ilmiah, skripsi. Pak dosen berujar, data dan fakta itu amat penting sebagai catatan awal yang akan menjadi informasi, dan melalui informasi tersebut kalian bisa menyusun karya ilmiah.

Ia pun sempat membeberkan jenis karya tulis ilmiah itu bukan hanya skripsi yang menjadi syarat utama penyelesaian studi jenjang sarjana Strata Satu (S1). Di samping skripsi, masih ada yang lain yaitu tesis dan disertasi.

Malah, katanya, karya tulis yang lebih sederhanapun ada yaitu makalah. Penulisan makalah sebagai latihan bagi mahasiswa untuk melatih daya nalar melalui forum diskusi setelah makalah itu selesai dibuat. Fokus penulis dalam tulisan ini tentu saja masalah informasi.

Secara umum (tidak hanya di kampus) informasi itu amatlah penting, lebih-lebih di era digitalisasi seperti sekarang ini. Sepotong informasi yang sengaja diplintir dan dibuat seakan-akan benar demikian adanya, masyarakat menjadi bingung, resah, dan tidak sedikit pula yang percaya tanpa mencoba meminta klarifikasi kepada pihak-pihak terkait.

Baca juga:  Digitalisasi Penyiaran dan Nasib Televisi Analog

Bisa dibayangkan jika informasi yang tidak jelas itu lalu berseliweran di dunia maya saat-saat menjelang pemilihan umum atau seperti sekarang ini ketika terjadi pandemi Covid-19, masyarakat akan semakin bingung dikacaukan oleh informasi yang belum tentu benar.

Mengingat pentingnya informasi, wajar saja seorang pakar informasi sekaligus ahli masa depan Alvin Toffler memandang informasi itu merupakan sesuatu yang amat menentukan perjalanan karier seseorang (tokoh) maupun nasib suatu bangsa. Hal itu terlihat jelas pada semboyannya yang berbunyi “Siapa yang menguasai informasi, maka dialah yang menguasai dunia”.

Informasi yang tak jelas sumbernya lalu beredar di dunia maya seperti yang disinggung pada uraian ini, lazim disebut hoax. Informasi yang dikuasai oleh seseorang, jika hal itu nyata-nyata mengandung kebenaran dan merupakan berita terpercaya, jelas tidak akan menjadi masalah.

Diakui oleh banyak pihak bahwa hoax atau sebut saja berita bohong tersebut agak sulit diberantas mengingat pemikiran pelakunya banyak yang canggih serta piawai main kucing-kucingan dengan petugas. Agar kita tidak dimakan hoax, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) senantiasa mengimbau kepada siapa saja pengguna media sosial (medsos) untuk bijak serta cerdas dalam penggunaannya.

Baca juga:  Turis Nakal dan Ketegasan Pak Koster

Hal ini penulis dapatkan di dunia maya, pada 10 Mei 2020. Sementara itu hampir setiap pagi penulis mendengar imbauan di radio (radio pemerintah maupun swasta), yang isinya kurang lebih “Info yang Anda terima saring-saring sebelum disharing kepada teman kita.”

Terkait dengan sikap kita harus bijak dan cerdas dalam penggunaan media, BSSN memberikan semacam “resep” atau tips untuk mendeteksi bahwa berita yang diterima itu hoax atau bukan. Pertama, cek keanehan yang ada; kedua, cek kesesuaian judul dan isi berita; ketiga, perhatikan sumber berita, selanjutnya cek tentang ketersediaan data pendukung, cek tanggal beritanya, cek kredibelitas penulisnya, cek keberpihakannya, dan terakhir (kedelapan), silakan adakan verifikasi ke pihak-pihak terkait.

Kedelapan tips ini sudah cukup untuk menentukan apakah informasi atau berita yang masuk ke Anda masing-masing memang benar demikian (kebenarannya bisa dijamin) atau itu hanya isapan jempol alias berita bohong atau berita bodong atau hoax? Tips yang disebutkan BSSN di sini akan memiliki nilai-guna jika kita mampu mengajak teman-teman dan menggalang partisipasi masyarakat pada umumnya untuk bersikap dan melaksanakan anjuran tersebut secara kongkrit dan dijiwai oleh rasa pengabdian yang tulus.

Baca juga:  Dilema Hukum dan Keuangan Dalam Kasus LPD

Dalam dunia pers (cetak maupun elektronik), sudah terbiasa berlaku ketentuan 5W + 1H untuk mengetahui bahwa berita yang dibaca atau didengar itu benar adanya atau mengada-ada. “W” pertama adalah What (Apa), menyusul “W” kedua Who (Siapa), “W” ketiga When (Kapan), “W” keempat Where (Di mana), “W” kelima Why (Kenapa atau mengapa), dan “H” adalah How (Bagaimana).

Ketentuan ini memang sudah berlaku bagi para wartawan ketika yang bersangkutan menulis berita. Dengan berpedoman pada formula 5W + 1H ini diharapkan tidak terjadi kesalahan ataupun kekeliruan pada si wartawan.

Istilah lainnya, berita yang dihasilkan senantiasa dapat memuaskan pembaca ataupun pendengar dan pemirsa. Apabila pihak pembaca, pendengar, dan pemirsa belum memiliki apa yang semestinya diketahui (walau tidak mendalam), maka terhadap mereka pun perlu penggalangan agar partisipasinya tumbuh demi kemajuan pers, termasuk kemajuan di bidang media sosial.

Penulis, pegiat pers & pensiunan PNS

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *