Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H., M.Kn

Pandemi Covid-19 telah membuat semua rencana dan teori mandul. Dedikasi para pejuang kemanusian pun layak diapresiasi.

Hari kesehatan dunia setiap 7 April mestinya menjadi momentum bagi setiap insan untuk menghargai dan meneladani keikhlasan pahlawan kemanusiaan, khususnya para tenaga medis.

World Health Organization (WHO) terbentuk tahun 1948 silam sebagai organisasi bagian dari PBB. Indonesia salah satu negara anggota PBB. Pada kesempatan ini kita sebagai bangsa Indonesia patut menaruh apresiasi kepada tenaga kesehatan (selanjutnya disebut mereka). Mereka telah berjuang siang dan malam sebagai garda terdepan dalam menangkal pandemi Covid-19.

Hampir setahun sudah pandemi ini melanda umat di dunia. Kementerian Kesehatan R.I. 31 Maret 2021 melaporkan 222 negara terjangkit oleh virus ini. Dan data global menunjukkan 127.877.462 orang telah terkonfirmasi, 2.796.561 meninggal (2,2 %). Indonesia data terkonfirmasi 1.511.712 kasus. Meninggal 40.858 orang (2,7%). Pemerintah telah berusaha sekuat tenaga untuk menangkal.

Baca juga:  Tantangan Generasi Produktif di Masa Pandemi

Melihat angka kesembuhan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia berhasil menekan laju virus. Hal ini karena usaha bersama yang dilakukan pemerintah dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, mereka patut disebut pahlawan kemanusiaan.

Kenapa disebut pahlawan? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi definisi pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Dengan demikian kata pahlawan adalah orang yang berpahala yang perbuatannya berhasil dan berguna bagi kepentingan orang banyak.

Berpedoman kepada batasan KBBI tersebut, maka sangat wajar jika mereka yang berperan menangani Covid-19 disebut pahlawan kemanusiaan. Perbuatan mereka sangat menonjol. Apa yang dilakukan telah menarik perahatian publik.

Pandemi ini bersifat gobal, yakni suatu tragedi kemanusiaan yang terbesar abad ini melanda dunia. Pandemi sebelumnya, ketika zaman Hindia Belanda 1918 tersebar Flu Spanyol. Ketika itu penduduk Hindia Belanda 35 juta jiwa. Meninggal karena pandemi Flu Spanyol sekitar 4,6 jiwa atau 13,3 % (liputan6.com 10.8.2020).

Baca juga:  Ketatanegaraan dan Pemerintahan

Menilai data sekarang, maka persentase korban jauh lebih kecil. Karena, pada zaman kini alat-alat kesehatan lebih canggih dan tenaga kesehatan yang lebih mampu. Pada 1918 pandemi hanya menyebar dalam jangka waktu satu tahun. Saat ini, pandemi sudah berjalan satu tahun, belum ada tanda-tanda mereda. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah penduduk yang sangat padat, terutama di Pulau Jawa.

Mereka tenaga kesehatan, tidak ada rasa takut menentang maut. Kita mengetahui virus ini sangat berbahaya. Siapa saja yang lengah, maka ancamannya nyawa. Mereka berani berjuang demi keselamatan umat manusia.

Baca juga:  Perempuan, Pendidikan, dan Kebijaksanaan

Berani berkorban juga dapat dilihat dari perbuatan mereka yang tidak mengenal lelah. Bahwa dalam keadaan memakai APD lengkap mereka tidak bebas. Apalgi SOP yang diterapkan begitu ketat, seperti APD tidak boleh dilepas selama bertugas. Tidak boleh makan minum, dan buang air kecilpun dibatasi. Masker hanya boleh dipakai selama 4 jam. Pelindung tangan setiap saat harus diganti.

Semua pengorbanan mereka itu, demi kepentingan umum. Tidak hanya kebebasan pribadi terganggu. Jiwa pun banyak korban. Mereka gugur untuk membela kemanusiaan.

Keluarga tidak ada yang protes atas gugurnya mereka. Data sampai bulan Februari 2021 tenaga kesehatan Indonesia telah gugur sebanyak 757 orang (IDN Time 16/2/ 2021). Itulah perjuangan mereka, sekecil apapun perjuangan mereka di tengah pandemi ini. Mereka layak disebut pejuang kemanusiaan.

Penulis, pensiunan jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *