Wayan Supadno. (BP/Istimewa)

Oleh Wayan Supadno

Produk unggulan Indonesia penguasa pasar global misal saja salak, manggis, nanas, pisang, kelapa, karet, sawit, sarang walet dan lainnya. Market leader.

Andaikan pemerintah impor komoditas di atas, kenapa tidak jadi keributan di masyarakat ? Jawabannya sederhana, karena produk kita tersebut paling kompetitif di atas bumi ini.

Sebaliknya jika pemerintah impor beras, bawang merah, jagung dan lainnya yang bisa diproduksi petani kita maka terjadi keresahan di tengah masyarakat. Terlebih jika saat panen impor datang.

Pertanyaan sederhanaya, kenapa ada keresahan masyarakat saat impor apalagi saat panen? Sekalipun akibat stok pangan dalam negeri meragukan kecukupannya. Demi aman maka harus impor.

Baca juga:  Meredam Gejolak Harga Pangan Jelang Tahun Pemilu 2024

Sebabnya komoditas tersebut di Indonesia harganya lebih mahal dibandingkan barang impor. Adanya harga mahal (tidak kompetitif) akibat dari harga pokok produksi (HPP) kita jauh lebih tinggi. Bukan karena labanya petani terlalu banyak.

Sehingga kalau terjadi impor berdampak jatuhnya harga. Pukulan psikologis pasar. Ini imbasnya dalam dan luas.

Bukan hanya kerugian material petani saja. Melainkan juga akan terbangun dismotivasi bertani. Enggan bertani. Banyak yang alih profesi dari petani.

Kolektifnya jumlah petani yang alih profesi 0,5 juta/KK/tahun dan jumlah petani muda hanya tinggal 8% serta alih fungsi lahan 110.000 ha/tahun (BPS). Karena siapapun juga tidak mau jadi lilin, orang lain terang dirinya meleleh habis.

Baca juga:  Pendidikan dan Resiliensi Ekonomi

Dampak imbas ini yang harus jadi perhatian semua pihak. Sekalipun banyak yang bisa berargumentasi bahwa impor soal biasa. Hanya perdagangan antar negara saja. Tapi juga harus ingat bahwa hidup matinya sebuah bangsa ada pada ketersediaan pangannya.

Alternatif Solusinya

Semua pihak harus mendidik dan memberikan fasilitas haknya petani agar bisa menekan harga pokok produksi (HPP) nya. Sehingga bisa jual kompetitif bersaing dengan barang imppr tapi petani juga sejahtera. Ini hal mutlak. Tak ubahnya petani di luar negeri.

Petani/pelaku usaha harus senantiasa membekali diri agar cara bertani pangan berubah lebih inovatif lagi. Agar hasilnya berubah. Berubah lebih menambah laba dan menambah manfaat buat dirinya dan konsumennya.

Baca juga:  Bertentangan dengan NSKLB, Gubernur Bali Harus Tegas Tolak Impor Beras

Tanpa ada upaya lebih inovatif menekan HPP maka sampai kapanpun posisi petani tetap sulit. Karena komoditas pangan adalah komoditas politik negara. Pangan tidak boleh mahal, jika pangan mahal dampaknya biaya hidup akan mahal.

Jika biaya hidup mahal maka upah kerja akan minta mahal. Angka kemiskinan pedesaan tetap tinggi. Padahal di Indonesia harga pangan termahal di Asia (Bank Dunia). Padahal upah kerja di Indonesia termahal dibanding negara lain sesama produsen beras (data terlampir). Dampaknya produk pangan tidak kompetitif. Harus dihindari.

Penulis, seorang petani

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *