Lilik Sudiajeng. (BP/Istimewa)

 

Oleh Liliek Sudiajeng

Hampir genap empat bulan kita dipaksa untuk diam di rumah, rasa khawatir membuat kita mengikuti dan mendukung semua kebijakan terkait dengan protokol Covid-19 yang diterapkan oleh pemerintah. Namun, rasa jenuh, bosan, dan terkadang diwarnai kepasrahan serta tuntutan hidup membuat sebagian besar masyarakat sudah tidak betah lagi dan membawa diri untuk keluar rumah dengan berbagai alasan.

Dilema ini membuat pemerintah kewalahan dalam membatasi penyebaran Covid-19 ini. Berbagai kebijakan mulai jaga jarak, cuci tangan, menggunakan masker sampai pada PSBB sudah diterapkan, namun angka penyebaran Covid-19 masih terus bertambah.

Di sisi lain, pergerakan roda ekonomi semakin melambat dan nyaris berhenti total. Oleh karenanya muncullah kebijakan baru pemerintah untuk menerapkan new normal, yaitu tatanan baru untuk menjaga produktivitas tetapi tetap aman dari Covid-19. Tempat rekreasi mulai dibuka, mall, pasar, tujuan pariwisata dan penggerak roda ekonomi lainnya.

Sudah dapat dibayangkan bahwa sebagian besar masyarakat yang sudah jenuh tinggal di rumah akan menyambut gembira kebijakan ini, berbondong-bondong bersama keluarga berjalan-jalan mengunjungi tempat hiburan. Aktivitas kerja di berbagai sektor sudah mulai tampak, termasuk kegiatan pembangunan proyek konstruksi.

Dalam kondisi normal, hingga saat ini proyek konstruksi masih menduduki peringkat pertama penyumbang kasus kecelakaan dan sakit akibat kerja. Laporan International Labour Organization (ILO) dari tahun ke tahun tetap menunjukkan bahwa industri konstruksi masih menjadi penyumbang kecelakaan fatal tertinngi dibandingkan industri lainnya.

Baca juga:  Mengembalikan Identitas Bangsa pada Bulan Bahasa

Setidaknya 108 ribu pekerja tewas di lokasi proyek setiap tahun, angka yang mewakili sekitar 30 persen dari semua cedera fatal akibat kerja. Data sejumlah negara industri menunjukkan bahwa pekerja konstruksi mempunya potensi mengalami kecelakaan fatal 3 hingga 4 kali lebih tinggi daripada kecelakaan di tempat kerja lainnya, bahkan di negara berkembang, risiko tersebut tiga hingga enam kali lebih besar.

Apabila dalam kondisi normal angka kecelakaan kerja fatal sudah tinggi, bagaimana pada saat kondisi new normal yang harus berdampingan dengan Covid-19 ini?

Dari aspek ergonomi, semua manusia dilahirkan dengan segala kemampuan, kebolehan, sekaligus kelemahan dan keterbatasan atau secara singkat disebut kapasitas kerja. Oleh karenanya dalam melaksanakan aktivitas kerja, harus dijaga keseimbangan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja.

Tuntutan tugas yang melampaui kapasitas kerja menyebabkan terjadinya kelelahan dini, penurunan tingkat ketelitian, kewaspadaan, derajat kesehatan yang bermuara pada penurunan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Dalam hal pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi, seringkali tuntutan tugas jauh melampaui kapasitas pekerja.

Baca juga:  Bahasa Daerah Vs Kapitalisasi Bahasa

Pekerjaan melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, latar belakang pendidikan dan sosial-ekonomi yang variatif mulai dari yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal hingga yang berpendidikan tinggi, bekerja di ketinggian di bawah paparan langsung sinar matahari, melibatkan alat berat dengan risiko kecelakaan yang tinggi, material berbahaya, beban angkat-angkut yang seringkali melebihi kapasitas pekerja dan lingkungan fisik yang berdebu dengan tingkat kebisingan yang tinggi. Waktu kerja yang tidak mengenal hari libur, dengan siklus kerja hampir 24 jam/hari, apalagi seringkali ditambah adanya tuntutan yang memaksa adanya percepatan waktu penyelesaian proyek terkait dengan kegiatan politis.

Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja fatal di industri konstruksi. Di masa new normal, kondisi ini diperparah karena pekerja harus berdampingan dengan Covid-19 yang terus mengancam kesehatan para pekerja.

Di sisi lain, mengingat bahwa hampir empat bulan terakhir semua kegiatan proyek nyaris berhenti total, sementara waktu kontrak terus berjalan, dapat dipastikan pihak kontraktor cenderung akan mengejar keterlambatan proyek dan metode yang paling kerap diterapkan yaitu menambah jumlah tenaga dan waktu kerja alias lembur. Tentunya hal ini akan menambah risiko terjadinya kecelakaan kerja fatal yang tidak diharapkan.

Baca juga:  CHSE, Sapta Pesona Wisata dengan Wajah Baru

Sebagai langkah antisipati atau tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja fatal tersebut, maka kontraktor harus benar-benar menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara profesional. Terkait dengan pandemi Covid-19, maka juga diperlukan kebijakan khusus.

Tidak cukup sekadar menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Lebih jauh pemerintah juga perlu memberikan rambu-rambu tegas terkait dengan batasan jumlah pekerja, waktu kerja dan kerja lembur agar kontraktor tidak dihantui oleh keterlambatan proyek yang akhirnya mendorong kontraktor untuk memaksa pekerja mengikuti pola kerja lembur.

Maka, pemerintah perlu memberikan kompensasi waktu yang terlewatkan akibat Covid-19. Mengurangi atau meniadakan sama sekali sanksi denda keterlambatan waktu pelaksanaan dalam batas yang proporsional, sehingga pelaksanaan pembangunan proyek dapat berjalan normal tanpa membahayakan pekerja, dan pada saat yang sama pembatasan penyebaran Covid-19 juga dapat dilakukan.

Tulisan kecil ini disusun sebagai ekspresi kepedulian dan turut mendukung penerapan kebijakan new normal yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai upaya menjaga keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi masyarakat. Semoga musibah Covid-19 segera berlalu dan semua aktivitas kerja dapat berjalan normal kembali.

Penulis, Profesor Bidang Ergonomi–Fisiologi Kerja Dosen Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *