IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh : IGK Manila

Ketika berbicara normalisasi di masa pandemi ini, pikiran kita mau tak mau akan terbawa pada akhirnya pada soal ekonomi. Dalam konteks Bali, perekonomian sedemikian rupa akan diidentikkan dengan pariwisata dan segala yang berkaitan atau mendukungnya.

Meskipun, kita tahu, ekonomi Bali bukan hanya pariwisata, tetapi juga pertanian, perikanan dan lainnya. Di tengah masyarakat, normalisasi ekonomi adalah hal yang paling ditunggu. Sebab, mengatasi aspek-aspek kehidupan lainnya, ekonomi berhubungan dengan subsistensi— keterpenuhan kebutuhan hidup.

Meskipun mungkin saja masih banyak anggota masyarakat yang bisa bertahan sebulan, dua bulan atau setahun dengan kebijakan pembatasan aktivitas sosial-ekonomi, secara keseluruhan mesin ekonomi pada akhirnya harus bergerak. Demikian juga, pemerintah tak akan sanggup terus-menerus menanggung ongkos pemerintahan, menyalurkan bantuan dan sebagainya jika kas daerah atau negara tak diisi ulang.

Berbeda dari daerah-daerah di mana kehidupan ekonomi sebagian besar penduduknya tak bergantung pada lalu-lintas manusia dalam interaksi sosial yang intens dan massif, Bali adalah salah satu pengecualian. Kehidupan ekonomi Bali telah terbentuk sedemikian rupa sehingga kurang lebih 80 persen bergerak di bidang pariwisata. Pandemi Covid-19 harus dilihat sebagai sebuah tantangan tersendiri. Orang-orang Bali yang hidup di Bali tak bisa lari dari kenyataan ini dan oleh karena itu harus berpikir lebih positif — atau dibuat positif — mengenai realitas tersebut. Pilihan memposisikannya sebagai tantangan adalah yang paling masuk akal dan pragmatis ketimbang mereproduksi bahasa-bahasa klise seperti musibah, cobaan dan seterusnya.

Dalam rangka memfasilitasi masyarakat menempuh transisi menuju kenormalan baru, positivitas pikiran ini adalah tonggak awal. Ini persis seperti menyiapkan warga satu daerah untuk percaya diri dan berani hidup di tengah kecamuk perang yang belum diketahui kapan usainya.

Baca juga:  Gerakan Kembali Mencintai Pertanian

Ini harus dilihat sebagai satu situasi di mana tak ada jalan untuk lari selain dengan gagah berani menghadapi musuh dan menanggung kemungkinan-kemungkinan pahit yang mungkin saja menimpa. Oleh karena itu, ketika di masa-masa awal pandemi bahasa menakut-nakuti, mengancam atau intimidatif lebih banyak dimunculkan — seperti dalam himbauan, kebijakan dan sebagainya — ini adalah saatnya untuk memperbaharui isi dan metode rekayasa sosial.

Sebagian besar masyarakat, hemat saya, kalau bukan semuanya, sedikit banyak sudah mengenal musuh dalam pandemi dan membiasakan diri dengan hal-hal baru, seperti menjaga kebersihan, memakai masker, dan menjaga jarak. Kini, dengan semua pengetahuan dan pengalaman tersebut, masyarakat harus diajak untuk berpikir, bersikap dan bertindak responsif, taktis dan kreatif.

Responsif berarti membaca situasi dan kondisi diri serta lingkungan dan memetakan berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan. Taktis berarti menyesuaikan tindakan-tindakan diri secara tepat dengan realitas. Sedangkan kreatif, seperti dalam hal ekonomi, memfasilitasi masyarakat supaya melihat peluang dalam krisis ini dan mulai atau terus bekerja untuk memastikan new normal terlembaga.

Sebagai contoh, selama masa pembatasan sosial, tak sedikit anggota masyarakat yang telah melakukan aktivitas bisnis, pertanian atau kreatif baru. Mungkin pada awalnya mereka melakukan itu sebagai pengisi waktu atau karena terdesak secara ekonomi.

Tetapi, seiring waktu, kegiatan-kegiatan responsif, taktis dan kreatif tersebut ternyata bermanfaat, menghasilkan atau bahkan terus bereproduksi. Salah satu tugas pemerintah daerah — bidang apa saja — adalah mengidentifikasi dan memetakan new normal baru ini dan memfasilitasi pengembangannnya. Dan tentu saja, dalam rangka menguatkan semangat baru seluruh anggota masyarakat Bali, kesuksesan-kesuksesan baru ini perlu disebarluaskan sehingga menjadi opini publik.

Baca juga:  Pendidikan dan Resiliensi Ekonomi

Kedua, setelah memastikan setiap anggota masyarakat memiliki sikap positif dalam menempuh new normal, siapapun yang peduli dengan Bali dan/atau mengurus Bali, harus secara terstruktur dan massif memfasilitasi pemulihan ekonomi dengan berbagai pembaruan yang diperlukan.

Di samping itu, harus terus-menerus dilanjutkan langkah-langkah menemukan atau mengembangkan aspek-aspek ekonomi alternatif non pariwisata. Gagasan kuncinya, menurut saya, adalah bahwa di tengah badai pandemi yang sudah terbaca geraknya, namun belum terkendali sepenuhnya, siapapun yang peduli dengan Bali dan menjalankan roda pemerintahan Bali harus berpikir, bersikap dan bertindak out of the box —mengatasi “yang biasa”.

Kalau masih akan mengandalkan industri pariwisata, umpamanya, Bali harus kreatif menyiapkan diri sehingga memberi rasa aman dan nyaman bagi siapapun yang akan berkunjung. Dalam perkembangan yang terlihat sejauh ini, perhatian pemerintah daerah sepertinya masih tersedot oleh penanganan kasus-kasus Covid-19 yang belum kunjung melandai secara statistik.

Bali, bagaimanapun juga merupakan salah satu daerah yang berhasil mengelola urusan ini, apalagi jika memperhatikan aspek tingkat interaksi sosial sebagai lokus utama penyebaran virus yang melebihi daerah-daerah lain. Di satu sisi, saya melihat ini sebagai kewajaran karena pandemi Covid-19 adalah peristiwa dan pengalaman luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Baca juga:  Transplantasi Jantung Babi pada Manusia

Akan tetapi, harus terdapat kewaspadaan bahwa jangan sampai konsentrasi yang berlebihan pada satu hal melalaikan kita untuk melihat hal-hal lain yang tak kalah pentingnya. Dengan melihat beberapa kasus yang berpengaruh pada ekonomi Bali sebelumnya, seperti peristiwa Bom Bali dan letusan Gunung Agung, kemampuan berpikir dan bertindak out the box pemerintah dan masyarakat Bali seharusnya sudah terasah sedemikian rupa.

Motivasi dan wawasan untuk melembagakan pariwisata aman dan nyaman dan kreativitas ekonomi non pariwisata semestinya sudah lebih terbentuk. Hanya saja, khusus terkait pengembangan aspek ekonomi non pariwisata, harus diakui masih lebih banyak wacana ketimbang realisasi. Dan ini merupakan hal yang wajar mengingat pariwisata adalah magnet yang sangat kuat, sehingga ia menyedot perhatian sebagian besar orang serta sektor-sektor riil ekonomi lainnya untuk beririsan atau bahkan bermuara di sana.

Hemat saya, bukan tidak mungkin bahwa satu saat sektor ekonomi non pariwisata seperti industri pertanian akan menguat. Mungkin juga, industri-industri kreatif yang selama ini bergandengan dengan pariwisata akan lebih mandiri, seperti ketika para pelakunya berhasil mengekspor produk mereka tanpa mengandalkan tingkat kunjungan wisatawan yang membeli langsung.

Jika sektor-sektor kreatif ini mendapat perhatian dan fasilitasi yang lebih baik, saya yakin Bali akan lebih mandiri lagi secara ekonomi. Jika urusan ekonomi pokok warga Bali sudah beres, sektor-sektor lain akan bergerak dengan sendirinya.

Penulis tokoh masyarakat Bali, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *