Sejumlah wisatawan asyik berselancar di kawasan Pantai Kuta. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Terpuruk dan melakukan tindakan destruktif, seperti pemecatan karyawan (PHK) atau menjauh dari optimisme, saat paceklik kunjungan wisatawan mesti dihindari. Optimisme haruslah tetap menjadi identitas pengusaha.

Menjadikan pekerja pariwisata sebagai korban atau pihak yang pertama terdampak paceklik adalah tindakan yang tak adil. Pandangan ini dirangkum dari perbincangan Bali Post dengan Wakil Gubernur Bali Prof. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. dan Ketua STPBI Bali Dr. I Made Sudjana, S.E., M.M., Selasa (11/2).

Diakui atau tidak dampak sistemik virus Corona begitu kuat. Anjloknya kunjungan dan potensi dampak sosial ekonomi kita menguat. Bali tentu tak boleh diam dalam hal ini. Komunikasi dan evaluasi lalu melakukan revitalisasi produk pariwisata harus dilakukan.

Wakil Gubernur Bali yang juga akrab disapa Cok Ace mengakui kini pandemi Corona telah membuat berbagai estimasi tersandera. Potensi krisis finansial bagi daerah-daerah yang bertumpu pada pariwisata bisa saja terjadi.

Namun, Bali tentu tidak diam dalam hal ini. Komunikasi dan revitalisasi kebijakan telah dilakukan. “Bali saya yakini tak akan terjebak pada situasi ini. Diplomasi, promosi dan mengajak komponen pariwisata mengelola momentum ini untuk meningkatkan kualitas produk terus disuarakan,” jelasnya.

Baca juga:  Difasilitasi KPU Bali, Dana Iklan Kampanye Calon DPD Bali Capai Rp 2,1 Miliar

Ia mengajak meningkatkan pendekatan simpati den terus berbenah. Wagub juga mengingatkan agar musim paceklik ini jangan direspons berlebihan dengan melakukan PHK karyawan.

Justru peningkatan kualitas SDM dan penataan bisa dilakukan. “Dari sisi pendekatan kebijakan, Pemerintah Provinsi Bali sudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Menggalakkan wisatawan domestik dan MICE ke Bali menjadi pilihan,” ujarnya.

Diakuinya, pandemi yang berujung pada paceklik kunjungan ke Bali berpotensi memicu masalah ekonomi dan sosial. Daya tahan ekonomi berpotensi terseret jika kita salah strategi dalam hal ini.

Dana Cadangan Krisis

Di lain pihak, Dr. Made Sudjana mengingatkan paceklik kunjungan haruslah menjadi momentum menata diri menuju pariwisata berkualitas. “Peningkatan kualitas SDM dan fasilitas bisa dilakukan saat ini. Pendekatan investasi saat paceklik juga bisa menjadi pilihan, jangan malah terjebak dan mati gaya,” sarannya.

Doktor pariwisata jebolan Pascasarjana Unud ini mengatakan dua sisi sektor pariwisata memang akan selalu beriringan. Musim paceklik dan berlimpah wisatawan selalu berdampingan. “Kini ketika pandemi virus Corona menjadi ancaman serius, pelaku pariwisata Bali harus tetap optimis,” sarannya.

Baca juga:  PBVSI Denpasar Akan Gelar Muskot

Setidaknya, momentum ini harus digunakan untuk menata pariwisata Bali secara totalitas. Pembenahan bisa termasuk infrastruktur, fasilitas pariwisata, destinasi atau objek pariwisata.

Tak hanya itu, kebijakan dan regulasi juga harus dievaluasi. “Revitalisasi haruslah menjadi rujukan. Tanpa perbaikan dan kesamaan persepsi untuk menuju kualitas, Bali  berpotensi tersisih. Paceklik kunjungan harus menjadi ruang revitalisasi menuju quality tourism,” sarannya.

Dijelaskannya, yang tak kalah strategisnya untuk dilakukan adalah reorientasi pengelolaan kebijakan pariwisata. Bali sudah berulang kali berada pada posisi krisis kunjungan.

Pertama saat Gunung Agung erupsi dan kini saat Corona. Sebelumnya virus SARS dan flu burung juga membuat Bali prihatin. Ini mestinya menjadi pelajaran berharga. Ini harus menjadikan Bali berpikir betapa pentingnya Bali memiliki dana cadangan krisis pariwisata.

“Kita sering gagap dalam hal ini. Kebijakan sering dipolakan saat kondisi sudah emergency dan kritis. Mestinya sejak awal sudah dipetakan potensi, tantangan dan ancaman di sektor ini. Demikian pula solusi dan antisipasinya. Salah satunya pentingnya menyediakan dana cadangan krisis. Saya berharap dana-dana yang terkumpul dari PHR jangan dihabiskan oleh pemerintah. Dana cadangan harus ada untuk mengantisipasi situasi kritis, sehingga saat kritis, pemerintah bisa menjadi penyelamat. Jangan sampai gagal solusi dalam situsi kritis,” sarannya.

Baca juga:  Pengerjaan Proyek Jalan di Nusa Penida Belum Jalan  

Ia mengatakan PHR jangan dikelola dengan pendekatan kekuasaan dan kepentingan politis. Harus ada pendekatan profesional dan berbasis  kepentingan strategis sektor pariwisata. “Kini, ketika pengusaha pariwisata berhdapan dengan risiko krisis, pemerintah harus menjadi penyelamat,”  tantangnya.

Namun, ia tetap berharap masih ada banyak hal bisa dilakukan Bali untuk bisa menjadi destinasi berkualitas saat musim paceklik. Daya dukung Bali dan penguatan atas budaya Bali haruslah menjadi satu strategi dan rujukan. Mengembalikan identitas pariwisata Bali dan jati diri pariwisata berbasis budaya harus menjadi rencana aksi dan dijabarkan. (Dira Arsana/balipost)

BAGIKAN