Sugi Lanus. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar.

Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional.

Apakah Bali punya panduan tertulis tentang ketahanan pangan? Jawabannya adalah subak. Adakah naskah yang menyajikan bagaimana tanaman di subak ditanam, dirawat, dijaga dan diupakarai?  Ada, yaitu Lontar Dharma Pamaculan.

Peneliti lontar, Sugi Lanus, mengatakan Lontar Dharma Pamaculan berisi pengaturan masa bercocok tanam, upakara dan siklus perjalanan bertani di sawah. Sementara itu, berbagai Lontar Usada berisi ratusan bahkan sampai beribu pohon yang harus dibudidayakan untuk pegobatan herbal. ‘’Bukan hanya khasiat herbal sebagai obat yang diperoleh kalau menanamnya, tapi beribu pohon tersebut kalau ditanam akan memberi hasil berlimpah untuk meningkatkan ketahanan pangan,’’ ujarnya.

Baca juga:  Kejari Bidik PBB Badung

Sugi Lanus menyebut ada sejumlah lontar di Bali yang berisi nama tanaman dan kegunaannya dalam kehidupan orang Bali. Lontar itu di antaranya Aji Janantaka, Aji Pangintar Padum Lumbung, Aji Pari, Aksara Swara Wianjana, Asta Kosali, Astakosala/Astakosali, Bangkruk, Banyu-awang, Buda Kecapi (Usada Kacacar), Çri Purana Tatwa, dan Darmaning Asta Kosali. Dikatakan, masing-masing lontar tersebut berisi puluhan sampai 200 lebih tumbuhan atau tanaman yang menjadi keperluan usada, pembuatan upakara, perumahan, parahyangan dan sebagainya.

‘’Kesemuanya itu menjadi pasokan pangan kita bersama jika ditanam seperti petunjuk lontar-lontar tersebut yang mengamanatkan kita untuk bercocok tanam untuk keperluan pasokan pangan, obat herbal, dan pelestarian lingkungan,’’ katanya.

Dari sekitar 33 lontar usada saja, Sugi Lanus telah mendata tidak kurang dari sekitar 1.000 tanaman yang perlu ditanam di Bali sebagai pasokan herbal atau bahan pengobatan. Sebagian dari jumlah itu adalah bumbu dapur dan panganan yang bisa menjadi makanan harian yang punya potensi dan nilai ekonomi yang tinggi. Meski demikian, situasinya yang terjadi di lapangan semua sumber pangan dalam lontar usada mulai langka. Sebagai contoh: Suweg (Amorphophallus campanulatus B) dan Biaung atau Gembili (Discorea esculenta) telah langka di Bali. Padahal di masa lalu ubi ini sangat penting sebagai pasokan pangan di Bali.

Baca juga:  Cegah Kehilangan, Masyarakat dan Prajuru Desa Diminta Ikut Jaga WiFi BSI

Ada belasan ubi yang disebutkan sebagai bahan obat dalam lontar usada, yang sebenarnya tidak hanya bahan obat, tetapi bisa dikonsumsi menjadi pangan harian. Ada belasan tanaman rambat yang disebut sebagai bahan obat, sebenarnya bisa menjadi sayur harian, demikian juga dengan buah-buahan dan kacang-kacangan. Jumlahnya sampai ratusan varietas tumbuhan yang bisa menjadi bahan obat ada di sekitar kita tetapi kita abai dan tidak tekun membudidayakan sebagai pasokan pangan harian kita.

Baca juga:  Pemerintah Sisakan 10 Persen Lahan di IKN Untuk Ketahanan Pangan

Sebuah riset dilangsungkan di Buleleng Timur telah berhasil mendata 50-an lebih obat usada yang masih dipakai masyarakat sekaligus sumber pangan yang bisa menjadi bagian dari penguatan ketahanan pangan kita.

Tumbuhan tersebut masih akrab tumbuh sekitar kita tetapi tidak dibudidayakan secara baik di pekarangan rumah atau teba (belakang rumah) atau tegalan kita, seperti kayu manis (Sauropus androgynus Merrill), sembung hutan (Blumea sp), dan ubi dara. Semua tumbuhan tersebut jika dibudidayakan punya nilai ekonomi, bisa disuplai ke pasar tradisional terdekat sebagai pasokan bumbu dan juga kebutuhan pengobatan herbal.

Tanaman dalam puluhan Lontar Usada tidak memerlukan subak atau areal persawahan yang besar untuk dibudidayakan. Bisa menjadi tanaman pagar, rambat, pohon peneduh dan pohon penghasil buah, yang bisa tumbuh kita budi dayakan di halaman rumah atau di lahan kosong milik desa yang bisa dikelola oleh masyarakat secara bersama. (Subrata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *