Oleh Made Satria Pramanda Putra, A.Md., S.E., S.H., M.M.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) belakangan ini kembali menjadi topik hangat di beberapa daerah. Mayoritas wajib pajak mengeluhkan adanya kenaikan PBB-P2 yang diklaim melonjak signifikan apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bertolak belakang dengan pemberitaan lonjakan tersebut, di sisi lain beberapa daerah justru memberlakukan kebijakan pengurangan hingga pembebasan seluruhnya PBB-P2.
PBB-P2 merupakan pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Tidak termasuk kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam penerapannya, perhitungan PBB-P2 terutang dilakukan oleh Pemerintah (Official Assessment System).
Dengan sistem seperti ini, pemerintah melalui otoritas pajak bersifat aktif untuk menetapkan, menerbitkan, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB-P2 kepada wajib pajak. Walaupun demikian, masyarakat selaku wajib pajak tidak senantiasa bersikap pasif menunggu terbitnya SPPT PBB-P2. Peran aktif dapat dilakukan dengan melaporkan objek pajak miliknya yang belum terdata dalam database perpajakan atau telah mengalami perubahan peruntukan.
Berdasarkan peraturan perundangan berlaku, yang menjadi dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak atau lebih familiar dikenal dengan istilah NJOP. Oleh Kepala Daerah, besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun. Pengecualian untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah masing-masing. Penentuan besarnya NJOP tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui suatu proses yang disebut dengan proses penilaian.
Penilaian dilakukan untuk mengestimasi nilai tanah dan/atau bangunan sebagai objek PBB. Nilai yang dihasilkan dalam proses penilaian selanjutnya dilakukan konversi ke dalam klasifikasi tanah atau bangunan. Hasil konversi tersebut menjadi klasifikasi tanah atau bangunan untuk kemudian ditentukan besarnya NJOP per meter persegi.
Merujuk pada Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah memberikan batasan tarif tertinggi PBB-P2 ditetapkan maksimal 0,3%. Secara kasatmata tarif pajak efektif tersebut tentu tidak dapat dikatakan tinggi. Apalagi dalam proses perhitungan pajak terutang masih mendapat pengurang berupa Nilai Jual Tidak Kena Pajak (NJTKP).
Walaupun demikian, ketika proses administrasi pemungutan berlangsung masih terdapat wajib pajak yang menyampaikan keluhan dan berkeberatan atas tingginya nominal pajak yang masih harus dibayar. Ternyata, meskipun dikenakan tarif yang relatif kecil dan mendapat pengurangan NJTKP, nilai NJOP yang menjadi dasar pengenaan terus mengalami penyesuaian secara linier dari waktu ke waktu mengikuti beberapa faktor seperti perkembangan, pertumbuhan, dan investasi, serta transaksi jual beli pada suatu daerah.
Berangkat dari hal tersebut, keluhan wajib pajak di beberapa daerah atas penetapan PBB-P2 terutang sangatlah wajar dan dapat dipahami. PBB-P2 adalah jenis pajak objektif dan merupakan bagian dari property tax (pajak atas kepemilikan kekayaaan). Artinya, penekanan utama dalam pengenaan pajak ada pada kondisi objek pajak dibandingkan keadaan subjek. Karena sifatnya objektif, saat proses pemungutan tidak jarang ditemui kondisi wajib pajak yang sudah tidak memiliki kemampuan ekonomis tetap harus menanggung nominal pajak tertentu.
Guna memenuhi rasa keadilan dan tanpa menghilangkan manfaatnya, pemungutan PBB-P2 sebagai pajak objektif tidak serta merta secara absolut meniadakan kondisi dan kemampuan finansial wajib pajak. Peraturan perundangan telah memberikan ruang pada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan mengenai mekanisme pengurangan atau pembebasan. Fokus utama dalam penyusunan kebijakan adalah dengan mempertimbangkan aspek kemampuan membayar (ability to pay) dari wajib pajak.
Sebagai contoh, pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur nomor 42 tahun 2019, memberikan pembebasan seluruhnya sebesar 100% atas PBB-P2 yang terutang kepada wajib pajak orang pribadi tertentu. Wajib pajak tertentu yang dimaksud antara lain profesi guru dan dosen termasuk pensiunannya, veteran, pahlawan nasional, penerima tanda kehormatan, mantan presiden dan mantan wakil presiden, mantan gubernur dan mantan wakil gubernur; purnawirawan dan orang pribadi pensiunan.
Mekanisme pemberian pembebasan dilakukan berdasarkan permohonan dari wajib pajak. Atas permohonan tersebut kemudian diproses dengan penelitian dan dilanjutkan dengan penerbitan Surat Keputusan Pembebasan bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria.
Sementara itu, pendekatan yang berbeda dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung, sejak tahun 2017. Melalui penerbitan Peraturan Bupati No. 24 tahun 2017 mulai memberlakukan pengurangan sebesar 100% atau pembebasan PBB-P2 seluruhnya bagi objek pajak yang memenuhi kriteria.
Kebijakan yang digagas Pemda Kabupaten Badung dinilai sebagai program strategis prorakyat yang diharapkan bermuara pada peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Landasan utama kebijakan ini dikarenakan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin penghuninya. Selain itu, kebijakan ini juga diterbitkan guna melindungi tanah pertanian di wilayah Kabupaten Badung dari alih fungsi lahan sehingga tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Apabila pada kebijakan di atas Pemerintah DKI Jakarta fokus pada kriteria profesi wajib pajak yang mendapat pengurangan, Pemda Badung lebih menitikberatkan pada kriteria pemanfaatan dan penguasaan objek. Kriteria tersebut adalah objek PBB-P2 berupa rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan objek PBB P2 tanah pertanian yang seutuhnya tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan pengurangan sebesar 100% dikecualikan terhadap objek PBB-P2 pada rumah dan tanah pertanian yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak perseorangan atau badan usaha yang tujuannya untuk komersial, investasi atau pengembangan usaha dan modal.
Efektif mulai tahun 2014, kewenangan pemungutan PBB-P2 yang semula ada pada pemerintah pusat telah dialihkan pada pemerintah kota/kabupaten. Dengan pengalihan tersebut, masing-masing daerah memiliki kewenangan penuh dalam penerapan kebijakan pemungutan PBB-P2 sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
Melihat fakta dan realita bahwa masih ada warga yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kewajiban tidak serta menjadi dasar argumentasi untuk menolak atau menyatakan PBB-P2 tidak memenuhi rasa keadilan. Karena dengan kewenangan yang dimiliki persoalan tersebut dapat diatasi oleh pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakan dan diskresi perihal pemungutan PBB-P2. Kebijakan dan diskresi untuk memungut, tidak memungut, memberikan pengurangan atau pembebasan berdasarkan pada kondisi dan potensi masing-masing daerah otonom.
Di luar berbagai pandangan perihal kebijakan di atas, apresiasi patut diberikan kepada pemerintah daerah yang telah memiliki inisiatif menerbitkan regulasi untuk mengatasi berbagai persoalan dalam administrasi pemungutan PBB-P2. Khususnya, keberpihakan kepada wajib pajak yang semakin terhimpit karena kesulitan atau tidak memiliki kemampuan untuk membayar.
Penulis, praktisi perpajakan