Pertemuan desa adat, aparat kepolisian dan DPRD Bali, Selasa (13/11). (BP/dok)

Oleh Bambang Gede Kiswardi

Desa pakraman yang sebelumnya dikenal dengan desa adat dan keberadaannya jauh lebih dulu dari desa dinas. Sampai saat ini desa pakraman atau desa adat di beberapa kabupaten dan kota di Bali masih berperan sangat strategis dalam mewujudkan kesatuan masyarakat hukum adat dan mempunyai satu-kesatuan tradisi serta tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun, juga mempunyai ikatan terhadap Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang berpalsafahkan konsep Tri Hita Karana.

Adapun desa pakraman di Bali sangat dijiwai oleh agama Hindu oleh karena itu konsep–konsep dasar agama Hindu dijadikan landasan dalam pengembangan dan pemberdayaan desa pakraman, seperti konsep Tri Mandala dan konsep Tri Hita Karana. Konsepsi Tri Hita Karana yang mengajarkan pola keseimbangan hubungan antara krama desa pakraman, baik dengan Tuhan sebagai pencipta (parhyangan), baik dengan sesamanya (pawongan) maupun dengan alam lingkungannya (palemahan).

Begitu juga konsep Tri Mandala yang berkaitan dengan palemahan menjadi landasan dalam pengembangan tata ruang desa pakraman di Bali. Sedangkan budaya dan adat istiadat sebagai fondasi dan pilar dari desa pakraman yang dilandasi oleh Catur Dresta yaitu Purwa Dresta (kebiasaan–kebiasaan yang tumbuh dan diwariskan secara turun-temurun dan diyakini sampai sekarang masih berguna), Loka Dresta (kebiasaan–kebiasaan yang tumbuh pada tingkat lokal atau daerah tertentu), Desa Dresta (kebiasaan–kebiasaan yang berlaku pada desa tertentu), dan Sastra Dresta (yaitu ajaran–ajaran atau ketentuan–ketentuan hidup yang tersurat pada sumber–sumber sastra agama sebagaimana yang tertulis di dalam lontar).

Dengan adanya pandangan hidup yang demikian, maka kultur di Bali memiliki karakteristik yang sangat menyatu terhadap rohnya krama adat, maka dari itu desa pakraman sebagai pusat pelestarian nilai–nilai adat, nilai–nilai budaya, dan nilai–nilai agama harus diperjuangkan dan dipertaruhkan sampai titik darah penghabisan, atau yang sering dikenal dengan istilah puputan. Krama adat sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran yang memiliki korelasi cukup kuat terhadap falsafah karmapala.

Baca juga:  Tumpek Bubuh : Entik-Mentik-Petik

Ini berarti kebenaran krama adat di mata masyarakat indonesia maupun masyarakat internasional citranya cukup baik. Namun keberadaan desa pakraman masih cukup banyak yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi juga ketidakmampuan untuk menguasai perekonomian Bali.

Kondisi tersebut mengakibatkan pertama, tingginya beban sosial krama adat. Kedua, rendahnya kualitas dan produktivitas krama adat. Ketiga, sulitnya membuka akses ekonomi. Keempat, termasuk rendahnya partisipasi aktif krama adat dalam membangun ekonomi krama Bali.

Sejalan dengan kondisi tersebut, di mana desa pakraman sampai saat ini berjumlah 1.493 yang terdiri dari desa sebanyak 1.390 dan kelurahan sebanyak 103 (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2018) dengan jumlah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebanyak 1.433 unit dengan aset sebesar Rp 19,5 triliun. Ini berarti desa pakraman memiliki potensi ekonomi yang cukup besar dan diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam usaha mengoptimalkan peran dan otonomi desa pakraman.

Untuk itu, desa pakraman perlu memiliki sistem ekonomi Hindu yang bercirikan: ciri pertama, roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Maka sistem ekonomi Hindu seyogianya dilandasi oleh konsepsi Tri Warga (Dharma, Artha, Kama), konsepsi ini telah mencakup rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ciri kedua, perwujudan pemerataan sosial ekonomi dan keadilan ekonomi untuk tujuan hidup yang berupa Moksaartham Jagadhita yang merupakan tujuan dan sekaligus landasan dari sistem ekonomi Hindu.

Ciri ketiga, jiwa nasionalisme yang melandasi kebijaksanaan ekonomi, dalam hal ini makna sistem ekonomi Hindu adalah sistem di mana kebijaksanaan ekonomi yang dilahirkannya untuk menjaga keselarasan hubungan dengan masyarakat dan di lingkungan di mana sistem ekonomi itu berada yang dapat memberikan multiplier effect terhadap segi pawongan dan palemahan dari konsep Tri Hita Karana yang mempunyai peranan sangat strategis.

Baca juga:  Peluncuran Desa Bersih dari Narkoba

Ciri keempat, Badan Usaha Milik Adat adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa pakraman atau desa adat melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa pakraman yang dipisahkan guna mengelola potensi ekonomi untuk sebesar–besarnya kesejahteraan krama adat. Model ini dapat dijadikan episentrum kekuatan ekonomi desa pakraman, sebagaimana diketahui, bahwa inti pokok Badan Usaha Milik Adat (BUMA) sebagai lembaga ekonomi adalah adanya semangat saling asah, asih, asuh, gilik seguluk, dan selunglung sabayantaka yang juga merupakan konsep kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong royong dalam pengelolaan ekonomi dengan sistem ekonomi Hindu.

Ciri kelima, menyangkut perumusan kebijaksanaan ekonomi dalam rangka pencapaian keadilan ekonomi dan keadilan sosial, diperlukan kepemimpinan model Asta Brata, sebagaimana termuat dalam buku Ramayana yang merupakan kelompok smerti akan dapat memberikan visi moksaartham jagadhita kepada pimpinan di bidang ekonomi untuk merumuskan kebijaksanaan yang mengarah kepada pencapaian cita–cita keadilan sosial ekonomi yang sesuai dengan amanat dan cita–cita Pasal 33 Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Berdasarkan ciri–ciri dari sistem ekonomi Hindu dalam pengelolaan potensi desa pakraman, diharapkan ada kolaborasi dalam akses pembiayaan, akses pemasaran, akses jaringan usaha, akses teknologi secara struktural antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, stakeholder terkait dan desa pakraman dalam merumuskan kebijaksanaan ekonomi yang berbasiskan sistem ekonomi Hindu.

Terkait dengan kebijaksanaan ekonomi tersebut, diharapkan ke depan desa pakraman akan bisa mengelola potensi ekonomi, sosial, dan budaya secara proporsional dan profesional untuk sebesar-besarnya krama adat Bali. Mengingat Bali yang penduduknya mayoritas Hindu merupakan lahan untuk memungkinkan diterapkannya sistem ekonomi Hindu, sehingga tidak ada lagi kecurigaan antara desa dinas dan desa pakraman dalam pengelolaan potensi ekonomi di Bali.

Baca juga:  Hadapi Kompetisi Global, Kualitas SDM Hindu Harus Ditingkatkan

Dengan demikian, tidak ada lagi krama adat sebagai petugas pemungut retribusi apa pun bentuknya di wilayah desa pakraman di Bali tidak menjadi objek penangkapan oleh petugas yang berwenang (operasi tangkap tangan/OTT) dalam bentuk pungli (pungutan liar). Karena wilayah Bali merupakan wilayah desa pakraman secara ketentuan awig–awig dan pararem itu berarti secara hukum adat sah adanya.

Apalagi dengan disempurnakannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, yang menyatakan pendapatan desa pakraman berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 diperoleh dari: (a) Urunan krama desa pakraman. (b) Hasil pengelolaan kekayaan desa pakraman. (c) Hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD). (d) Bantuan pemerintah dan pemerintah daerah. (e) Pendapatan lainnya yang sah. (f) Sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Ini berarti desa pakraman boleh melakukan kegiatan untuk meningkatkan pendapatan desa pakraman yang sesuai dengan peraturan daerah tersebut.

Dengan demikian strategi desa pakraman dalam mengelola potensi ekonomi dan potensi sosial budaya. Ke depan harus bersinergi menyusun Master Plan Badan Usaha Milik Adat yang berbasiskan ekonomi Hindu, dalam upaya untuk mewujudkan Moksaarthem Jagadhita dan kemandirian ekonomi yang sekaligus akan berperan strategis sebagai benteng ekonomi Bali.

 

Penulis, pemerhati ekonomi kerakyatan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *