petani
Petani di Desa Buahan, Kintamani mulai menerapkan sistem pertanian organik. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali mengusulkan Ranperda tentang Sistem Pertanian Organik. Ini tidak lepas untuk mewujudkan Bali sebagai pulau organik.

Mindset petani diubah agar memakai pupuk organik, seperti kompos. Di samping mengembalikan lagi kejayaan petani. Begitu juga dengan varietas-varietas unggul yang sempat hilang lantaran petani beralih ke sistem pertanian konvensional. “Setelah adanya perubahan sistem yang diterapkan oleh petani dengan menggunakan teknologi karena ingin mendapatkan hasil yang lebih cepat ini, varietas-varietas kita hilang semua. Tahun 70-80an itu, masyarakat punya produk-produk itu walaupun secara produksi agak lambat tetapi hasilnya sangat bagus dan disegani oleh orang luar,” ujar Ketua Baleg DPRD Bali, I Gusti Putu Budiarta disela-sela penetapan Ranperda Sistem Pertanian Organik, di Ruang Rapat Gabungan DPRD Bali, Senin (6/5).

Baca juga:  Kualitas Air Danau Batur Diuji, Sampel Diambil di 10 Lokasi

Menurut Budiarta, negara-negara seperti Thailand banyak belajar ke Bali tentang sistem pertanian terdahulu. Namun setelah tersentuh teknologi, petani Bali malah berjalan mundur alias tidak bisa sejahtera.

Dengan kembali pada sistem pertanian organik yang disebut berbiaya murah, petani diyakini bisa lebih cepat menuju kesejahteraan. Peran pemerintah juga diharapkan dalam memberikan insentif atau subsidi kepada petani di awal pelaksanaan sistem pertanian organik. “Sekarang kita berfikir merubah sistem dulu, yang kedua, nanti terkait dengan harga produksi kita akan serahkan kepada pemprov Bali karena di dalam perda ini juga akan ada lembaga yang mengatur. Baik itu terkait dengan awal dia berproduksi menggunakan sistem ini, maupun sampai pascapanen,” jelas Politisi PDIP asal Denpasar ini.

Baca juga:  Viral, Hutan Suter Kumuh Banyak Sampah

Sementara itu, Sekretaris Komisi III DPRD Bali I Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan, pertanian organik merupakan idaman Bali sebagai daerah pariwisata. Namun tantangannya memang cukup berat karena harus berhadapan dengan kapitalisme yang menguasai pestisida. “Kedua, akan berhadapan pula dengan kebiasaan masyarakat yang selama ini cenderung sudah menggunakan pestisida. Tentu ada konsekuensi pada hasil yang didapat pada tahun-tahun pertama. Akan ada cost yang begitu besar, sehingga petani perlu dibantu atau diberikan ganti rugi hasil panen,” ujarnya.

Kendati demikian, Kariyasa optimis Bali bisa mewujudkan pertanian organik yang nantinya akan menjadi nilai tambah bagi pariwisata.

Baca juga:  Peduli Lingkungan di "Indonesia Science Day"

Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta mengatakan, persoalan yang dihadapi petani sebetulnya bukan di produksi. Melainkan kepastian untuk mendapatkan hasil pada saat panen. Mengingat saat ini, menjadi petani di Indonesia terkadang “dimusuhi” oleh negara.

Sebagai contoh saat harga satu komoditas naik, pemerintah malah buru-buru melakukan operasi pasar untuk menurunkan harganya. “Kalau tidak ada subsidi hasil, petani segini-segini saja terus. Kita tidak akan bisa mengerem alih fungsi lahan, karena petani yang tertinggal hanya yang sudah berumur (tua, red). Sementara yang muda tidak ada,” ujarnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *