Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (P2M) adalah salah satu tugas perguruan tinggi yang dilaksanakan oleh para dosen dalam berbagai rupa kegiatan di masyarakat. Sebagai tuntutan tugas atau profesi, P2M sekadar jalan karena belum menjadi panggilan jiwa. Dana yang disediakan dan direbut melalui kompetisi sering menjadi tujuan sehingga para dosen bekerja keras untuk menyusun proposal yang ‘’hebat’’ agar dapat menarik hati para reviewer.

Setelah lolos, maka nasib proposal P2M ada di tangan dosen. Bisa jadi semangat kerja hebat ketika menyusun proposal tidak ada lagi. Kegiatan-kegiatan P2M berjalan seadanya agar tidak menyalahi aturan administrasi dalam pelaporan dan penggunaan dana.

Kualitas P2M yang ditentukan oleh tingkat kebermanfaatan kepada kelompok masyarakat secara nyata, tidak ada yang mampu menera. Laporan dan foto-foto kegiatan dinilai sudah cukup.

Setelah laporan selesai, tamat pula riwayat sebuah pengabdian. Dosen tidak memiliki ikatan batin dengan tempat dan kelompok warga yang dulu menjadi sasaran kegiatan P2M. Setelah itu, dosen bersangkutan berseminar dan mempublikasikan artikel P2M di jurnal-jurnal bereputasi.

Laporan, kertas kerja, dan artikel murni untuk dirinya. Tak ada yang sadar jika sikap ini mengingkari konsep pengabdian kepada masyarakat karena setelah kegiatan usai, dosen tidak pernah lagi memikirkan, keberlanjutan program P2M-nya, apalagi soal keberpihakan kepada masyarakat.

Terhadap kondisi ini, ada seabrek pledoi yang muncul dari kalangan dosen. Tulisan ini menggunakan perspektif lain untuk memahami keadaan yang dibahas. Memandang P2M sebatas tuntutan tugas adalah pandangan umum yang berkembang di kalangan dosen. Padahal, pengabdian kepada masyarakat memiliki makna yang sangat dalam bagi satu-satunya profesi yang membebankan tugas di pundak para dosen agar bekerja di masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan membantu masyarakat mengatasi persoalan.

Baca juga:  Adaptasi Hidup Bersama Covid-19

Sejatinya P2M membutuhkan modal yakni mental atau moralitas humanisme, keterlibatan dosen secara tulus dalam persoalan masyarakat. Hal ini salah satu ruang kerja dosen yang harus pula mendapat porsi yang seimbang ketimbang mengajar di kelas-kelas berpendingin dan harum atau suntuk dalam laboratorium modern memenuhi segala rasa ingin tahu untuk ketenaran dan keagungan seorang ilmuwan.

Dalam kaitan inilah penting sekali menyitir kembali surat Albert Einstein tahun 1938 yang dibacakan di hadapan mahasiswa Institut Teknologi California. Ilmuwan sekaliber Einstein menegaskan bahwa tugas ilmuwan bukan berakhir pada ketenaran dan pujian karena prestasi akademik yang tinggi dalam mengembangkan suatu teori tetapi pada kebermanfaatan ilmu bagi harkat dan martabat umat manusia. Hal ini adalah pengabdian ilmuwan kepada kemanusiaan.

Atau jika becermin pada kesuntukan seorang rahib penemu genetika, George Mendel, di kebun anggur biaranya, sesungguhnya tengah berkarya untuk kemaslahatan manusia. Pun hibah dana abadi yang diwasiatkan Alfred Nobel agar memberi dorongan atau penghormatan kepada ilmuwan dari seluruh dunia yang berjasa bagi kemanusiaan adalah ikhtiar tertinggi seorang ilmuan dalam pengabdiannya.

Maka dengan cerita tersebut, dosen sesungguhnya tidak cukup menjalankan P2M sebatas tugas tetapi seyogianya ada kesadaran diri bahwa pengabdian harus menjadi panggilan jiwa. Maka keterlibatan atau keperpihakan dosen dalam persoalan kehidupan masyarakat adalah syarat yang mutlak jika tidak hendak memandang kampus atau universitas sebagai menara gading. Namun, kiranya ada ironisme ketika dosen berperilaku atau memandang kampus atau universitas sebagai menara gading.

Baca juga:  Undiksha Buka Penerimaan 3 Ribu Mahasiswa

Karena itulah, jarang sekali di kampus-kampus Indonesia lahir dosen yang memiliki program P2M yang monumental, membesarkan namanya, dan mengangkat derajat almamaternya. Lewat dosen pengabdi seperti itulah, masyarakat bertumbuh mencapai kemajuan, kemerdekaan dalam arti luas, kecerdasan dan daya kritis, serta produktivitas hidup, tumbuh sebagai masyarakat atau kelompok warga yang bermartabat.

Justru yang terjadi mungkin bisa dikatakan sebaliknya. Para pengabdi sejati hidup di luar kampus. Sebut saja Butet Manurung. Ia adalah seorang antropolog yang mengabdikan diri dan seluruh hidupnya di suku Orang Rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.

Dia hidup dan belajar mengenai suku terasing ini dan mengembangkan program nyata bagi masyarakat setempat, yang diberi nama Sekolah Rimba. Ketika pemerintah tidak pernah berencana membangun sekolah maka Butet Manurung telah menyelenggrakan program Sekolah Rimba. Sekolah ini dibangun dari kenyataan setempat, dengan kurikulum lokal, sebagai pilihan yang paling tepat untuk segala kondisi setempat, seperti alam, transformasi sosial, ekonomi, mitologis, dan interaksi sosial dengan orang luar.

Namun, para dosen bisa menolak mentah-mentah model hidup pengabdian Butet lewat Sekolah Rimba-nya, karena dosen harus mengajar dan meneliti. Tetapi pemahaman yang mendalam, memberi pengertian baru dalam memaknai kerja pengabdian sebagai panggilan jiwa dan bukan semata tugas. Dengan demikian, ikatan dosen dengan kelompok masyarakat sangat kuat karena telah lebur dalam persoalan masyarakat tersebut. Ikatan ini semakin kuat ketika dosen mengubahnya menjadi tanggung jawab akademik dan kemanusiaan.

Baca juga:  "Social Entrepreneurship" untuk Museum

Maka dengan itulah sebuah karya pengabdian seorang dosen tidak dibatasi waktu sepertai pola penyelenggaraan P2M selama ini. Laporan-laporan yang dihasilkan tiap tahun hanyalah satu fase dari transformasi yang tidak jelas kapan akan berakhir. Namun, ada kesadaran penting yang harus tumbuh, sebuah program P2M tidaklah instan. Namun kenyataannya, hal inilah yang sering dialami atau dilakukan oleh para dosen.

Para dosen jumawa mengatakan dengan dua kali pelatihan akan mampu menciptakan perubahan sosial. Sikap atau mentalitas para dosen dalam menyelenggarakan tugas pengabdian kepada masyarakat ini, yang melihat sebagai tugas dan bukan panggilan, sehingga berpikir instan, mungkin sebagai konsekuensi memandang hidupnya di atas menara gading, harus mulai diubah dengan mengembangkan paradigma humanis atau moral dalam pelaksanaan tugas P2M bagi dosen.

Dosen harus menyadari bahwa persoalan di masyarakat tidak bisa dipecahkan secara instan, karena itu sebuah kegiatan P2M membutuhkan keterlibatan/keberpihakan yang berkelanjutan. Meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, sebuah perguruan tinggi harus mengembangkan kebijakan-kebijakan baru dalam P2M. Dari segi pemilihan kelompok masyarakat sasaran, seorang dosen harus berpikir dalam jangka panjang, mungkin 5-10 tahun ke depan.

Penulis, dosen Undiksha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *