I Gede Suartana. (BP/nik)

GIANYAR, BALIPOST.com – Drs I Gede Suartana merupakan salah satu perajin perak di Desa Celuk Sukawati. Selain sebagai pebisnis ternyata ia juga merupakan seorang dalang wayang. Saking cintanya dengan seni pedalangan, pria akrab sapaan Jro Dalang Gede Suartana mencoba berkreatifitas melakukan perpaduan antara wayang dengan seni kerajinan. Alhasil tercetuslah ciptaan desain ukiran wayang kulit dengan tatahan logam panca datu. Karya yang menarik ini pun sudah tercatat dalam hak cipta I Gede Suartana.

Kegemaran Jro Dalang Gede Suartana memainkan seni wayang bahkan sudah muncul sejak masa kanak-kanak. Tepatnya, ketika ia duduk di kelas III SD pada tahun 1971. Kala itu, pria kelahiran 23 Desember 1960 ini pun mulai belajar medalang dan sudah dapat pentas wayang peteng (pakai kelir) beberapa kali. Diantaranya dapat pentas di Puri Anyar Singaadu, di Bale Banjar Tangsub, di Pura Desa Celuk dan di depan rumah almarhum Dalang I Made Anggur, yang juga selaku Guru dalang. “Jaman itu, belum tren istilah dalang cilik,” ujar pemilik Mar’s Artshop dan Maramis’S Artshop, Desa Celuk ini.

Baca juga:  Puppet Production Pamerkan Topeng dan Wayang

Hingga kini Jro Dalang Gede Suartana sudah kerap tampil di berbagai pementasan di Bali, seperti, Badung, Tabanan, Desa Batuan, Pura Desa Celuk, Klenteng Sukawati, termasuk mengisi acara pada even Celuk Jewellery Festival pada Oktober 2017 lalu.

Tidak hanya itu, pada 31 Mei 2014 lalu, ia juga berkesempatan mengikuti Festival Wayang Dunia di Nanchong Cina bersama Dalang I Wayan Tunjung dan Dalang Jennifer dari Amerika.

Berbalut rasa kecintaannya terhadap seni pewayangan, Jro Dalang pun berkreasi supaya wayang terlihat indah dan menarik. Seperti namanya, Wayang berornamen lima logam mulia ini, terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan asa-asa (campuran empat logam tersebut).

Baca juga:  Cok Ace ke Lokasi Musibah Lift di Kedewatan, Temui Pemilik dan Keluarga Korban

Wayang Pancadatu ini juga dihiasi 5 permata, antara lain mirah (merah), basing (hitam), bidura (putih), mirah cempaka (kuning) dan safir (abu-abu). “Maka wayang ini kami hias dengan logam pancadatu yang sekaligus baik untuk menarik aura kesucian,” jelas bapak dari 2 anak ini.

Menurut Jro Dalang, konsep wayang panca datu ini memiliki kekuatan mistis menarik aura kesucian. Selama ini unsur pancadatu kerap dipakai untuk upacara pedagingan atau ditanam pada dasar pelinggih-pelinggih dan bangunanan. Mengingat wayang adalah budaya adi luhung utameng lungguh, selain sebagai tontonan dan tuntunan wayang juga dipakai untuk nunas atau mohon tirta.

“Tirta Wayang sering disebut dengan tirta Sudamala, dipergunakan untuk meruwat bayi yang lahir ketadah kala atau lahir di wuku Tumpek Wayang. Juga untuk meruwat orang sakit atau istilahnya mebayuh, meruwat karang panes, dan mohon tirta Sudamala pada saat ngaben dan nyekah (maligia-red),” terangnya.

Baca juga:  Komit Lestarikan Seni Budaya di Kabupaten Badung, Sekda Dukung Lomba Kesenian Gender Wayang

Tampilan Wayang Pancadatu ini memiliki keunikan tersendiri dari wayang kulit lainnya. Kedua sisi wayang, dihias sama persis dengan ornamen logam dan permata Pancadatu. Dari segi berat, katanya memang lebih berat dari wayang kulit biasa. Maka itu, Wayang Pancadatu ini hanya dipentaskan untuk Wayang Lemah. “Pentas Wayang Peteng dengan kelir, saya pergunakan wayang yang lain,” katanya.

Menghargai disain Wayang Pancadatu karya Jro Dalang Suartana ini, sudah didaftarkan sebagai Hak Cipta Disain Tetatahan Logam Pancadatu pada Wayang Kulit dan Hak Cipta Disain Bunbunan Jejawanan pada Wayang Kulit di Direktorat Hak Cipta dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan ham RI. (manik astajaya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *