Seniman Denpasar menampilkan kesenian gambuh pada Pesta Kesenian Bali (PKB). (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pewaris budaya Bali saat ini menghadapi tekanan kuat dari globalisasi dan modernisasi. Arus informasi, teknologi digital, gaya hidup modern, serta media sosial membawa nilai-nilai baru yang sering kali kurang selaras dengan tradisi budaya lokal. Globalisasi ini dapat menyebabkan perubahan sosial-budaya, pergeseran nilai, serta potensi krisis identitas di kalangan generasi muda Bali.

Akibatnya, tradisi dan nilai lokal bisa tergeser oleh pengaruh budaya global yang dianggap lebih “modern” atau “trendy.” Pandangan itu disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha menyikapi tantangan perwarisan budaya di kalangan generasi muda Bali.

Ia mantan rektor ISI Denpasar ini menegaskan bahwa globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, namun harus dikelola secara cerdas agar tidak menggerus jati diri dan nilai luhur budaya Bali. Menurutnya, ciri utama globalisasi adalah dunia yang semakin terhubung dan saling bergantung.

Dalam konteks budaya, globalisasi memunculkan pengakuan terhadap multikulturalitas, relativitas, dan refleksivitas. Secara kultural, terdapat dua pandangan besar terhadap globalisasi, yakni pandangan pesimistis yang melihat ancaman homogenisasi dan hilangnya makna budaya, serta pandangan optimistis yang memandang global dan lokal tidak harus bertentangan, melainkan dapat bersinergi menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru.

“Merawat budaya di era global perlu dilakukan dengan pendekatan glokalisasi, yakni berpikir secara global namun bertindak secara lokal,” ujar Arya Sugiartha, Sabtu (27/12).

Konsep ini, kata dia sejalan dengan pemikiran Roland Robertson dan Pieterse, yang memandang globalisasi sebagai proses hibridisasi budaya yang melahirkan bentuk-bentuk baru melalui persilangan, pencangkokan, dan pengemasan ulang budaya lama tanpa kehilangan esensinya.

Baca juga:  Lindungi Warisan Budaya Bali, Putri Suastini Koster Sambut Baik Rencana Penelitian dan Survei LPPM UNHI

Ia mencontohkan gamelan Bali sebagai objek kebudayaan yang telah berhasil masuk dalam konstelasi global. Tidak hanya dikenal secara fisik, gamelan Bali diakui dunia karena konsep musikalitas dan nilai kemanusiaannya yang universal. Keterbukaan gamelan terletak pada nilai-nilai inheren yang menjadikannya setara dan dapat berdialog dengan kebudayaan mana pun di dunia.

Namun demikian, pergaulan global juga memicu tantangan berupa pergeseran orientasi nilai, dari kolektivitas ke individualitas, dari motif sosial ke motif ekonomi, serta dari kemapanan nilai ke arah artifisial. Untuk menyikapi hal tersebut, Arya Sugiartha menekankan perlunya ketajaman intuisi dan gagasan kreatif seluruh pelaku dan pemangku kepentingan budaya.

Setidaknya terdapat tiga strategi utama dalam merawat budaya Bali di era global, yakni mengelola modernisasi, mengembangkan silang budaya, dan menjadikan festival budaya sebagai ritual baru. Modernisasi perlu dikelola secara kritis agar budaya tidak semata-mata menjadi komoditas pasar atau alat kepentingan politik. Dalam bidang seni, modernisasi memunculkan seni berbasis fungsi dan pesanan, yang menuntut seniman memiliki gagasan kreatif agar tetap mampu melahirkan karya-karya baru yang bermakna.

Sementara itu, silang budaya dipandang sebagai wujud kesadaran masyarakat terbuka dalam menghormati keragaman. Kolaborasi lintas daerah dan lintas negara, seperti karya Body Tjak hasil kolaborasi seniman Bali dan Amerika, serta berbagai inovasi dalam perkembangan gamelan Gong Kebyar, menjadi bukti bahwa persilangan budaya mampu melahirkan karya-karya baru bernuansa global-lokal tanpa menghilangkan identitas.

Festival budaya juga dinilai telah berkembang menjadi ritual baru yang berfungsi memperkuat kebersamaan, mendorong kreativitas, serta berdampak multidimensional, baik dari sisi sosial, ekonomi, pendidikan, maupun politik. Berbagai festival seni di Bali, seperti Pesta Kesenian Bali dan Festival Seni Bali Jani, menjadi ruang penting untuk reaktualisasi tradisi dan perayaan kreativitas masa kini.

Baca juga:  Istakari Apresiasi Perjuangan Gubernur Koster di Bidang Seni dan Budaya Bali

Prof. Arya Sugiartha menegaskan bahwa globalisasi harus dimaknai secara optimistis dan dikelola dengan cerdas. Dengan sikap terbuka, mandiri, serta didukung ketajaman gagasan dan kerja kreatif, Kebudayaan Bali tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga tampil dengan format baru yang bermartabat serta mampu berdialog secara setara dalam pergaulan budaya antarbangsa.

Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Bali, Prof. Dr. I Wayan “Kun” Adnyana, S.Sn., M.Sn., menegaskan bahwa seni-budaya Bali memiliki daya lentur sekaligus daya tahan yang sangat kuat dalam menghadapi perubahan zaman, termasuk di tengah pergaulan global yang semakin intens.

Menurutnya, sejarah seni Bali dibangun oleh riwayat cipta autentik para seniman Bali yang mampu menyambungkan gagasan personal dengan laku spiritual kolektif masyarakat. Proses kreatif tersebut melahirkan ikonografi khas yang menjadi penanda kuat identitas seni Bali hingga kini.

“Seni-budaya Bali tidak lahir secara kebetulan, melainkan melalui proses kreatif panjang yang mengaitkan ide personal seniman dengan spirit kolektif masyarakat Bali,” ujar Prof. Kun Adnyana, Sabtu (27/12).

Ia mencontohkan seni lukis wayang yang mencapai puncak perkembangan pada masa Gelgel sekitar abad ke-14 hingga ke-15 Masehi. Pada periode tersebut, terjadi transformasi bentuk wayang yang terinspirasi dari relief candi di Jawa Timur pada masa Singasari. Seni lukis wayang Kamasan kemudian berkembang dengan karakter visual yang khas, baik dari segi wimba rupa maupun tata warna yang unik.

Baca juga:  Kebhinekaan Harus Jadi Motivasi Pertahankan Kekhasan Budaya

Lebih lanjut, Prof. Kun Adnyana menjelaskan bahwa interaksi seniman Bali dengan seniman Barat sejak era 1920-an justru memperkuat fondasi artistik seni Bali. Pengaruh modernisme Barat mendorong lahirnya ekspresi personal seniman tanpa menghilangkan akar tradisi, sekaligus menempatkan seniman sebagai poros utama kreativitas. “Perpaduan antara gagasan autentik dengan tata kreatif baru selalu menjadi karakter inovatif seniman Bali,” jelasnya.

Karakter inovatif tersebut tidak hanya tercermin dalam seni lukis, tetapi juga menjiwai seni pahat dan berbagai seni kerajinan Bali. Hal ini turut membentuk karakter budaya Bali yang dinamis, namun tetap berporos pada autentifikasi nilai-nilai lokal.

Prof. Kun Adnyana menegaskan bahwa seni-budaya Bali tidak semata-mata bersifat dekoratif atau ornamentik. Lebih dari itu, seni Bali merupakan kerangka cipta yang menempatkan seniman sebagai pribadi yang merdeka secara kreatif, namun tetap tertaut dengan spirit keluhuran Bali yang melahirkan energi dan taksu secara organis.

Dalam konteks pergaulan global, ia menilai bahwa interaksi dengan dunia luar tidak akan menghilangkan karakter kuat seni Bali, selama para seniman tetap memiliki kepercayaan diri dan kesadaran akan jati dirinya sebagai bagian dari spirit luhur Bali.

“Selama seniman Bali tegak pada kepercayaan diri dan terhubung dengan nilai keluhuran budayanya, seni-budaya Bali akan terus hidup, berkembang, dan bermakna dalam konteks global,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN