
DENPASAR, BALIPOST.com – Luas lahan pertanian di Kota Denpasar kian tergerus di tengah makin padatnya penduduk dan arus urbanisasi. Harga lahan yang mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya turut memberi pengaruh, disamping berbagai tantangan lain yang membuat luas lahan pertanian semakin menyempit.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kota Denpasar, luas lahan pertanian selama empat tahun terakhir mengalami penyusutan. Pada 2021, luas lahan di Denpasar mencapai 1.915 hektar, menurun pada 2022 mencapai 1.871 hektar. Lanjut 2023 kembali turun menjadi 1.680 hektar dan 2024 mencapai 1.658 hektar.
Kepala Dinas Pertanian Kota Denpasar, Anak Agung Gde Bayu Brahmasta, Selasa (2/12) mengatakan, banyak tantangan di perkotaan untuk menekan alih fungsi lahan. Pertama minat generasi muda yang menekuni dunia pertanian kian menurun. Hal tersebut membuat lahan yang dimiliki tidak tergarap, sehingga cenderung disewakan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih cepat.
Selanjutnya kepastian harga beberapa komoditas pertanian yang belum memenuhi standar kesejahteraan petani, sehingga profesi petani seutuhnya belum bisa memberikan penghasilan yang memadai. “Selain itu, dampak perubahan iklim dan bencana serta tekanan ekonomi juga memberi pengaruh terhadap pertanian kian ditinggalkan,” katanya.
Di sisi lain, harga lahan di Kota Denpasar yang terus mengalami kenaikan juga menarik minat pemilik lahan untuk mendapatkan penghasilan lebih besar dalam waktu singkat yaitu dengan menyewakan atau menjual. Agung Bayu menjabarkan untuk produksi pertanian khususnya padi pendapatan kotor yang dihasilkan petani berkisar Rp300.000 hingga Rp400.000 per are per 4 bulan atau setara dengan Rp600.000 hingga Rp800.000 per are per tahun (dua kali panen).
Jika dibandingkan dengan penyewaan lahan yang digunakan di luar pertanian, nilai yang ditawarkan bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per are per tahun. Tergantung lokasi dan akses jalan. “Tentu kalau melihat perbandingan tersebut sangat jauh terpaut,” katanya.
Namun, lanjut Agung Bayu jika petani mau sedikit mengalihkan jenis komuditas yang ditanam selain padi, misalnya produk hortikultura seperti cabai, sayuran, bawang merah, jagung dan sebagainya tentu perbandingan tersebut bisa ditekan.
Misalnya pertani hortikultura untuk produk bawang merah jika berhasil menghasilkan produk unggul dengan asumsi produksi 100 hingga 200 kwintal/hektare dengan harga minimal Rp10.000 per kilogram akan menghasilkan pendapatan Rp1 juta hingga Rp2 juta per are per 3 bulan. Nilai tersebut setara dengan Rp2 juta hingga Rp4 juta per are per tahun. “Dengan pendapatan dari komoditas hortikultura tersebut dipastikan petani akan menjaga lahannya dari alih fungsi lahan,” katanya.
Demikian Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar sendiri kata dia melakukan beberapa upaya untuk menekan alih fungsi lahan. Pertama berupaya meningkatkan pendapatan petani dengan menekan biaya produksi. “Kami lakukan diversifikasi usaha untuk pertanian ini, selain padi ada juga tanaman hortikultura. Selain itu kami juga berikan berbagai bantuan dari traktor sampai pupuk, sehingga menurunkan biaya produksi,” katanya.
Tak hanya itu, lahan pertanian juga mendapat kebijakan pembebasan pajak dan telah tertuang dalam Perda. Petani juga mendapatkan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan yang preminya dibayar oleh Pemkot Denpasar. Pemkot Denpasar juga menetapkan lahan abadi seluas 1.000 hektare yang fungsinya tidak bisa diganti tetap untuk pertanian. (Widiastuti/bisnisbali)










