Alat berat sedang mengerjakan penanggulangan abrasi di pesisir Pantai Kuta, Badung. Selain penataan di pesisir untuk mencegah abrasi, pemerintah juga membangun beberapa pemecah ombak. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tim Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali menemukan sejumlah titik di kawasan pesisir selatan Nusa Dua yang telah mengalami penimbunan lahan mangrove.

Bahkan, di beberapa lokasi terlihat pondasi bangunan mulai berdiri di atas area konservasi negara. Politikus Bali menegaskan Semua komponen masyarakat Bali ikut menyelamatkan ekologi pesisir demi masa depan Bali.

Ketua Fraksi Gerindra–PSI DPRD Provinsi Bali, Gede Harja Astawa, Zona perlindungan ekosistem pesisir yang tidak boleh dirusak oleh kegiatan reklamasi maupun pembangunan komersial. Praktik semacam ini tidak hanya melanggar tata ruang, tetapi juga mencederai nilai-nilai kesucian alam Bali yang dijaga oleh masyarakat adat dan desa adat.

Menurutnya, kejadian ini bukan sekadar pelanggaran administratif semata, tetapi penodaan terhadap ruang suci ekologis Bali. “Bali ini hidup karena keseimbangan alamnya. Jika aparat dan birokrasi mulai kompromi, habislah Bali,” tegas Gede Harja, Senin (27/10).

Politisi asal Buleleng ini mendukung penuh langkah Pansus TRAP DPRD Bali untuk memanggil instansi terkait permasalahan ini. Seperti, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Satpol PP Provinsi Bali, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali guna mengusut tuntas kasus ini.

Baca juga:  Lampaui Capaian Pusat, Pemkab Jembrana Raih Penghargaan BPS

Gede Harja mengingatkan agar semua pihak, baik pemerintah, investor, maupun masyarakat, menghormati ruang hidup alam Bali. “Mangrove adalah paru-paru pantai Bali. Kalau rusak karena keserakahan, jangan salahkan alam ketika ia menagih balasan. Mari kita jaga bersama Bali ini agar tetap ajeg dan lestari,” ujarnya seraya mengatakan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di lapangan menjadi akar persoalan.

Terkait permasalahan ini, guru besar bidang hukum Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Dr. I Nyoman Sujana, S.H., M.Hum., mengaku prihatin atas maraknya pelanggaran tata ruang di Bali, terutama terkait dengan investasi asing di bidang pariwisata.

Menurutnya, banyak investor asing yang memanfaatkan celah dalam peraturan untuk melakukan investasi di Bali tanpa memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal.

Baca juga:  Terus Menurun! Kasus Baru COVID-19 Bali di Bawah 70 Orang

Untuk itu, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Unwar ini, mendorong agar reformasi sistem Online Single Submission (OSS) yaitu sistem perizinan berusaha segera dilakukan sebelum kondisi alam Bali semakin parah. Ia juga menyoroti sistem OSS yang belum efektif dalam mengawasi investasi di Bali.

Sistem ini memungkinkan investor untuk mendapatkan izin usaha tanpa melalui proses pengawasan yang ketat. Hanya dengan bukti setor investasi Rp10 miliar izin penanaman modal asing (PMA) sudah bisa dikantongi.

Hal ini dapat menyebabkan investor asing dapat melakukan investasi di Bali tanpa memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal. Prof. Sujana menyatakan bahwa penegakan Perda yang lemah menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran tata ruang di Bali.

Banyak investor yang melanggar sempadan pantai, sungai, bahkan kawasan konservasi Tahura tanpa ada pengawasan dan tindakan tegas. Ia mencontohkan kasus di pantai, di mana investor asing banyak membangun vila dan hotel tanpa memperhatikan ketentuan tata ruang yang berlaku.

Baca juga:  Pasar Kumbasari dan Suci akan Direvitalisasi

Hal ini menyebabkan nelayan lokal kehilangan akses ke pantai dan tidak memiliki tempat untuk menambatkan perahu. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan instansi terkait dalam mengawasi investasi di Bali.

Ia menyatakan bahwa perlu ada koordinasi yang baik antara pemerintah daerah, BPN, dan imigrasi untuk memastikan bahwa investasi di Bali dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal dan ketentuan tata ruang yang berlaku.

“Sistem OSS harus segera diubah untuk memastikan bahwa investasi di Bali dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal dan ketentuan tata ruang yang berlaku. Perubahan sistem OSS ini perlu dilakukan secepatnya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut di Bali,” tandas Prof. Sujana.

Ditegaskan, perizinan memang harus diterbitkan dari bawah (kabupaten/kota, provinsi) karena lebih memahami kondisi di lapangan. “Saya setuju dengan Pak Koster, untuk segera mengubah OSS. Namun, sedikit terlambat. Jadi harus dipercepat, jangan ditunda lagi demi masa depan Bali,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN