Bangunan di TWA Penelokan yang dipersoalkan oleh masyarakat. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Soal keberadaan bangunan kedai makanan dan minuman di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan, Kintamani, Bangli, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali angkat bicara.

Kepala Balai KSDA Bali, Ratna Hendratmoko, Senin (13/10), mengakui bahwa dalam proses pembangunan kedai makanan dan minuman oleh  I Ketut Oka Sari Merta di kawasan TWA Penelokan terdapat keterlambatan dalam pemenuhan aspek administrasi, khususnya terkait dukungan dan persetujuan dari masyarakat sekitar.

Saat ini, BKSDA Bali bersama pihak terkait akan melakukan langkah-langkah penataan dan penyelarasan agar seluruh persyaratan administrasi dapat terpenuhi sesuai ketentuan yang berlaku. Ia menegaskan bahwa BKSDA Bali berkomitmen untuk memastikan setiap bentuk pemanfaatan kawasan konservasi berjalan secara transparan, partisipatif, dan tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat sekitar.

Ratna menyampaikan permohonan maaf atas dinamika yang timbul terkait kegiatan pembangunan tersebut. BKSDA Bali memahami bahwa hal ini telah menimbulkan kegaduhan, perhatian dan keprihatinan berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerhati lingkungan.

Sebagai bentuk tanggung jawab, BKSDA Bali berkomitmen untuk menata kembali proses administrasi serta memperkuat koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan agar pengelolaan kawasan TWA Penelokan tetap berjalan sesuai ketentuan dan prinsip konservasi.

Dijelaskan, bangunan yang berada di dalam ruang publik pada blok pemanfaatan TWA Panelokan dibangun oleh I Ketut Oka Sari Merta, yang merupakan pemegang Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dengan Sertifikat Standar: 23082200271370004 yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 7 Oktober 2024.  Oka adalah warga Desa Batur Tengah, yang merupakan masyarakat di sekitar kawasan TWA Panelokan.

Bendasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan penyediaan jasa makanan dan minuman yang didukung dengan perlengkapan berupa kedai makanan atau minuman yang difasilitasi oleh UPT dan/atau pihak lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Ketentuan tentang hal ini juga diatur dalam Pasal 51 Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengusahaan pariwisata alam di SM, TN, TAHURA, dan TWA, diatur bahwa pemegang izin memiliki hak pemegang perizinan berusaha penyediaan jasa wisata alam berhak mendapatkan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menjadi anggota asosiasi pengusahaan pariwisata alam, mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha, dan memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi milik negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pemahaman Oka, dalam merealisasikan izin jasa wisata alam dan menjalankan usahanya, perlu membuat bangunan yang akan digunakannya sebagai fasilitas penyediaan makanan dan minuman. Bangunan tersebut akan diserahkan kepada BKSDA Bali melalui mekanisme kerja sama hibah.

Baca juga:  Cerah Berawan, Cek Prakiraan Cuaca Bali 5 September 2025

Saat peninjauan lapangan oleh petugas BKSDA Bali, kondisi yang sudah terbangun sampai saat ini yaitu bangunan restoran ukuran 10,9 x 10 meter, toilet dan dapur ukuran 7,4 x 4,8 meter, area taman depan 14,3 x 36 meter, area parkir 11,7 x 38,7 meter.

Saat ini, dikatakan BKSDA Bali tengah menyiapkan alternatif solusi kolaboratif, alternatif jalan tengah mekanisme penyelesaian melalui skema kerja sama hibah. Dalam skema ini, bangunan yang terlanjur berdiri dan belum memiliki legalitas akan ditempuh melalui proses hibah kepada negara sehingga statusnya dapat ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN).

Selanjutnya, BKSDA Bali akan menentukan nilai sewa mendasarkan pada nilai kewajaran, yang kemudian menjadi dasar dalam pelaksanaan penyewaan aset negara secara sah dan transparan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 51 huruf d Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KSA.3/3/ 2019, yang memberikan hak kepada pemegang izin usaha pariwisata alam untuk memanfaatkan fasilitas pariwisata alam milik negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Langkah ini diharapkan menjadi solusi yang adil, akuntabel, serta tetap mengedepankan prinsip tertib administrasi, transparansi, dan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Sebagai alternatif penyelesaian lainnya, BKSDA Bali juga akan melakukan evaluasi terhadap izin jasa wisata alam yang dimiliki oleh Oka, untuk memastikan kesesuaian dengan ketentuan pemanfaatan kawasan konservasi.

Evaluasi ini mencakup peninjauan kembali ruang lingkup kegiatan, kelengkapan dokumen administrasi, serta keselarasan antara rencana usaha dan daya dukung kawasan. Selain itu, BKSDA Bali akan mendorong dilakukannya kajian sosial secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat adat dan pemangku kepentingan setempat.

Pelibatan masyarakat adat diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kearifan lokal serta memastikan bahwa setiap bentuk pemanfaatan kawasan berjalan selaras dengan prinsip konservasi, budaya, dan keberlanjutan lingkungan. BKSDA Bali mengedepankan prinsip konservasi, asas kemanfaatan, asas keadilan, dan asas kebersamaan (kolaboratif), salah satunya adalah dengan alternatif solusi berbagi ruang usaha berbasis kelompok masyarakat.

Melalui momentum ini, BKSDA Bali juga mengajak seluruh pihak untuk bersama- sama menjaga keutuhan dan fungsi ekologis kawasan TWA Penelokan. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci agar kawasan ini dapat terus menjadi kebanggaan serta memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis secara berkelanjutan bagi masyarakat Bangli dan Bali pada umumnya.

Diungkapkan, BKSDA Bali telah melaporkan terkait kejadian ini kepada Direktur Jenderal KSDAE secara tertulis pada tanggal 12 Oktober 2025 serta melaporkan kepada Gubernur Bali melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, dan Bupati Bangli, untuk pemohon arahan lebih lanjut.

Baca juga:  Cek Prakiraan Cuaca Bali 8 Oktober 2025

Untuk langkah strategis selanjutnya, BKSDA Bali akan segera mengadakan pertemuan dengan para pihak dan konsultasi sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan langkah-langkah strategis penyelesaian permasalahan tersebut.

Rencananya, pada 13 Oktober 2025, BKSDA Bali akan bertemu dengan I Ketut Oka Sari Merta, dalam rangka klarifikasi, di Kantor KPHK Kintamani. Dilanjutkan pertemuan dengan pihak desa dan tokoh adat Desa Kedisan sebagai perwakilan masyarakat di lokus bangunan, guna menjelaskan kronologi terjadinya pembangunan dan membuka ruang diskusi serta menjaring aspirasi masyarakat sekitar.

BKSDA Bali juga akan berkonsultasi dengan Bupati Bangli beserta jajaran, untuk menjelaskan yang telah terjadi di TWA Panelokan. Kemudian, pada 15 Oktober 2025, BKSDA Bali akan berkonsultasi kepada Gubernur Bali melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.

Ke depannya, ia menegaskan bahwa BKSDA Bali akan lebih berhati-hati dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi, dengan mengedepankan prinsip transparansi dan pelibatan masyarakat sekitar. Langkah ini diambil untuk memastikan seluruh kegiatan wisata alam di TWA Panelokan berjalan sesuai prinsip kepatuhan hukum, keberlanjutan, dan kemitraan yang sehat antara pemerintah dan masyarakat. “Sekali lagi BKSDA Bali memohon maaf atas kejadian ini dan berkomitmen untuk terus memperbaiki pelayanan bidang konservasi kehati, dengan penuh integritas,” ujarnya, Senin (13/10).

Pada kesempatan ini, Ratna menjelaskan bahwa BKSDA Bali sebagai UPT di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan, bertanggung jawab dalam pengelolaan 5 unit kawasan konservasi seluas 6.284,36 hektare. Meliputi, Cagar Alam (CA) Batukau (1.773,80 hektare), Taman Wisata Alam (TWA) Danau Buyan- Tamblingan (1.847,38 hektare), TWA Sangeh (13,91 hektare), TWA Gunung Batur Bukit Payang (2.075 hektare) dan TWA Panelokan (574,27 hektare).

Kawasan konservasi yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Bali memiliki peran strategis dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem nya, dilaksanakan melalui tiga pilar utama. Yaitu, perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.

Ketentuan ini telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, yang menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip konservasi dalam menjaga keberlanjutan fungsi ekologis kawasan konservasi. Prinsip perlindungan diwujudkan melalui upaya menjaga kawasan dari berbagai ancaman, seperti kerusakan habitat, perambahan, dan perburuan liar yang berpotensi mengganggu kelestarian flora dan fauna.

Baca juga:  KKB Tingkatkan Asetnya Jadi Rp 19 M

Prinsip pengawetan difokuskan pada pemeliharaan keseimbangan ekosistem secara alami serta mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai dasar konservasi jangka panjang.

Sementara itu, prinsip pemanfaatan diarahkan pada pemanfaatan potensi kawasan secara berkelanjutan, antara lain melalui pengembangan wisata alam, pendidikan lingkungan, dan pelibatan aktif masyarakat lokal, tanpa mengganggu fungsi ekologis kawasan.

Melalui penerapan ketiga pilar konservasi tersebut, BKSDA Bali berkomitmen untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang seimbang, harmonis, dan bertanggung jawab antara aspek pelestarian lingkungan dan pemanfaatan berkelanjutan.

Salah satu pola pemanfaatan konservasi keanekaragaman hayati adalah pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam, melalui layanan pengunjung wisata dan pemberian izin pengusahaan wisata alam. Pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi, melalui dua skema izin, yaitu Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dan Perizinan Berusaha Pengusahaan Sarana Jasa Lingkungan Wisata Alam (PB-PSWA).

Dua skema izin ini diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan melalui OSS. Untuk Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar kawasan konservasi Penataan kawasan merupakan salah satu dasar dalam pengelolaan TWA.

Penataan kawasan ke dalam blok pengelolaan ditujukan untuk menyesuaikan pola pengelolaan berdasarkan potensi sumber daya alam, kondisi aktual di lapangan serta kepentingan pengelolaan. Kegiatan tradisional masyarakat sekitar, kegiatan budaya serta keagamaan merupakan bagian tak terpisahkan dalam penataan blok pengelolaan.

Blok pengelolaan pada TWA Panelokan terdiri dari Blok Perlindungan, Blok Pemanfaatan, dan Blok Lainnya yang berupa Blok Khusus dan Blok Religi, Budaya dan Sejarah. Ada pun yang dimaksud dengan Blok Perlindungan adalah bagian dari kawasan yang ditetapkan sebagai areal untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan ekosistem nya pada kawasan selain taman nasional.

Blok Pemanfaatan adalah bagian dari TWA yang ditetapkan karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi lingkungan lainnya. Blok lainnya adalah blok yang ditetapkan karena adanya kepentingan khusus guna menjamin efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.

Dalam pengelolaan pariwisata pada blok pemanfaatan di TWA Panelokan dilakukan melalui pembagian menjadi ruang usaha dan ruang publik. Ruang usaha adalah bagian dari blok pemanfaatan TWA karena letak, kondisi dan potensinya dimanfaatkan untuk kepentingan pengusahaan pariwisata alam bagi usaha penyediaan sarana wisata alam.

Sedangkan ruang publik adalah bagian dari blok pemanfaatan di TWA karena letak, kondisi dan potensinya dimanfaatkan untuk kepentingan pengunjung, pengelolaan dan pengusahaan pariwisata alam bagi usaha penyediaan jasa wisata alam serta sarana pendukung wisata alam. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN