
DENPASAR, BALIPOST.com – End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) Indonesia, jaringan global organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk mengakhiri eksploitasi seksual terhadap anak, menyoroti banyak anak di Bali rentan dieksploitasi di sektor pariwisata.
Dikutip dari Kantor Berita Antara, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Andy Ardian pada Senin (29/9), mengatakan pekerja anak di Bali yang rentan terhadap eksploitasi itu menimbulkan risiko serius terhadap perkembangan fisik dan mental mereka, apalagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Oleh karena kasus kekerasan seksual ini merupakan kasus kriminal ya, jadi agak sulit untuk mendapatkan data secara langsung, kecuali kasus ini terungkap,” katanya.
Sebagai perbandingan, pihaknya mengambil data BPS Bali 2024 yang menunjukkan angka lebih tinggi, yakni 2,97 persen anak usia 10-17 tahun banyak bekerja di sektor pariwisata, mulai dari pedagang kecil, pengamen, pekerja spa, hingga akomodasi informal berbasis rumah tangga.
Karena itu tren kenaikan tersebut memerlukan kebijakan yang diperkuat, kata dia, mekanisme penegakan hukum yang efektif, dan kolaborasi multi-pihak untuk melindungi anak-anak yang rentan di semua sektor, termasuk pariwisata Bali.
Andy menjelaskan banyak dari pekerjaan tersebut secara langsung atau tidak langsung terkait dengan sektor pariwisata, mencerminkan keterkaitan yang kompleks dan sering tersembunyi antara pertumbuhan pariwisata dan pekerja anak di Bali.
Menurut Andy, lingkungan pekerjaan yang sarat risiko eksploitasi disebabkan oleh pengawasan yang terbatas.
Perlindungan terhadap anak di sektor pariwisata, khususnya di Bali, katanya, memainkan peran sangat penting mengingat Bali menyumbang 44 persen dari total devisa pariwisata Indonesia, dengan kontribusi sebesar Rp107 triliun terhadap perekonomian nasional.
“Jadi, Bali memang dikenal sebagai daerah destinasi wisata, yang memang itu sangat banyak wisatawannya, sekaligus berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia,” katanya.
Namun demikian, lanjutnya, pertumbuhan pariwisata yang pesat dan tingginya arus wisatawan menghadirkan tantangan besar. Perlu mendapatkan perhatian serius, terutama dalam memastikan perlindungan anak dan mendorong praktik pariwisata berkelanjutan.
Isu tersebut erat kaitannya dengan peran dan tanggung jawab sektor bisnis formal dan informal, serta arah kebijakan nasional dalam pembangunan pariwisata dan bisnis.
Karena itu, kata Andy, perlu kolaborasi berbagai elemen termasuk pemerintah, sektor swasta, komunitas adat, dan masyarakat sipil merumuskan langkah strategis bersama guna memastikan pariwisata Bali bebas dari praktik eksploitasi anak baik melalui riset, advokasi kebijakan, penyusunan pedoman perlindungan anak bagi para pemangku kepentingan, serta kampanye kesadaran yang komprehensif.
Sebab tanpa intervensi konkret dari pemerintah dan sektor swasta sebagai penggerak utama kebijakan dan ekonomi, kata dia, upaya perlindungan anak melalui nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal akan tetap terbatas.
Acara diskusi tersebut juga turut dihadiri oleh pemangku kepentingan dari instansi terkait seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Langkah bersama ini dinilai sangat strategis untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang bertujuan menghapuskan semua bentuk pekerja anak pada tahun 2025. (kmb/balipost)