Ilustrasi - Sejumlah petugas melakukan pengambilan sampel pada babi terkait serangan penyakit African Swine Fever (ASF) atau demam babi Africa yang menyerang ternak babi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Kasus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika merebak kembali di kawasan Asia Pasifik. Data Kementerian Pertanian mencatat adanya peningkatan kasus di wilayah itu.

Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementan, Agung Suganda, ASF merupakan ancaman bagi populasi babi. Karena itu, deteksi dini, pelaporan cepat, dan kolaborasi semua pihak sangat diperlukan.

“Kami mendorong pemerintah daerah, petugas kesehatan hewan, dan peternak untuk meningkatkan kewaspadaan. Biosekuriti ketat adalah kunci pencegahan, dan setiap kasus yang mencurigakan harus segera dilaporkan melalui iSIKHNAS agar bisa ditangani cepat,” kata Agung, Minggu (14/9) dikutip dari Kantor Berita Antara.

Ia mengatakan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 8492 tanggal 19 Agustus 2025 tentang Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap Peningkatan Kasus African Swine Fever (ASF) di Wilayah Asia Pasifik. “Langkah ini diambil menyusul laporan adanya lonjakan kasus ASF di beberapa negara, termasuk China, Vietnam, hingga Kamboja dan Malaysia,” ujar dia.

Baca juga:  Dari Keluarga Ambil Paksa Jenazah Pasien Suspek COVID-19 hingga Hasil Pemeriksaan Luar Jasad Miss X

SE itu ditujukan untuk dinas peternakan provinsi, kabupaten/kota, otoritas veteriner, asosiasi, hingga organisasi profesi dokter hewan. Peternak diminta memperkuat biosekuriti untuk mencegah ternak babinya terkena ASF.

Dalam SE tersebut, Kementan meminta daerah menyiapkan rencana aksi pengendalian dan mitigasi risiko; melakukan profiling peternak, pedagang dan pengepul babi, memetakan jalur distribusi ternak untuk deteksi dini,

Selain itu memperketat pengawasan kesehatan babi dan melaporkan gejala ke iSIKHNAS, serta menjalankan surveilans berbasis risiko di wilayah padat populasi babi.

Baca juga:  Geger, Temuan Mayat Laki-laki di Saluran Subak Ole

“Jika ditemukan kasus, petugas diminta segera investigasi, mengambil sampel, dan mengirimnya ke laboratorium resmi agar penanganan lebih cepat dan tepat,” kata Agung.

Kementan juga mengingatkan soal biosekuriti di tingkat kandang. Disinfeksi rutin, pembatasan lalu lintas orang/barang, hingga prosedur kebersihan wajib diterapkan.

Selanjutnya lalu lintas babi dan produknya dari wilayah tertular dilarang, termasuk pemindahan bibit ke wilayah bebas.

Semua babi yang akan dilalulintaskan juga wajib diperiksa klinis, disertai Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang sah, bahkan diuji di laboratorium jika diperlukan. Bila ada babi mati, harus segera diisolasi, dilakukan disposal, dan kandang disinfeksi sesuai SOP.

Selain itu, area dengan kasus ASF bisa ditutup sementara untuk mencegah penyebaran antar peternakan.

Baca juga:  Pemerintah Bantah Ada Produk Elpiji 3 Kg Nonsubsidi

Penggunaan hormon sintetik, antibiotik, dan obat tertentu yang dilarang juga harus dipatuhi.

Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan Hendra Wibawa mengatakan pentingnya disiplin dalam pelaporan data. “Kami juga mendorong penggunaan iSIKHNAS secara disiplin. Tanpa data yang benar dan real-time, kebijakan pengendalian tidak bisa tepat sasaran,” ujar Hendra.

Saat ini, lanjut Hendra, Indonesia masih melaporkan adanya kasus ASF di beberapa daerah, termasuk NTT, Lampung, Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatera Utara. Meski begitu dia tidak menyebutkan secara rinci jumlah kasus tersebut.

“Kementan berharap semua pihak bisa memperkuat koordinasi dan mempercepat respon di lapangan,” kata Hendra. (kmb/balipost)

BAGIKAN