
NEGARA, BALIPOST.com – Warga Kampung Loloan, Negara memeriahkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1443 H dengan menggelar tradisi mengarak Male dan Ambur Salim.
Tradisi turun-temurun ini tidak hanya menjadi simbol perayaan keagamaan, tetapi juga cerminan kekayaan budaya yang dilestarikan dari generasi ke generasi oleh umat muslim di Loloan.
Ratusan warga dari Kelurahan Loloan Timur dan Loloan Barat sejak Sabtu (6/9) pagi tampak antusias memadati pinggir jalan menyaksikan arak-arakan Male yang telah dihias dengan ribuan butir telur. Sebanyak 14 Male dengan berbagai bentuk kreatifitas berjejer dan diarak menuju Masjid Agung Baitul Qodim.
Ketua Panitia Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) Kelurahan Loloan Timur, Ahmad Muhammad Muftirridha, mengatakan tradisi ini sudah ada sejak abad ke-17.
“Kalau zaman dulu itu Male aslinya dibuat dari gedebong pisang, diisi janur, hiasan, dan telur bebek yang ditusuk,” ujarnya.
Male yang dibuat para leluhur memiliki makna filosofis bagi warga. Telur yang ditusuk dengan tusuk sate, ditahan irisan kayu, dan ditutup dengan potongan tebu di bagian atas, melambangkan harapan agar seseorang memiliki pendirian dan iman yang teguh.
Sementara itu, rasa manis dari tebu diartikan sebagai janji bahwa setiap tantangan hidup akan berujung pada kebaikan. Selain itu, ada tradisi Ambur Salim atau ritual potong rambut bayi yang melambangkan rasa syukur keluarga yang baru dikaruniai anak.
Ritual ini memiliki beberapa syarat, seperti penggunaan kain tujuh lapis, kayu tujuh warna, gading kelapa, gunting, dan beras kuning berisi uang logam.
Rambut bayi yang dipotong akan ditimbang dan dihitung berdasarkan harga emas. Uang hasil timbangan tersebut kemudian disumbangkan kepada warga yang membutuhkan.
Sedangkan uang logam dalam beras kuning akan diperebutkan oleh anak-anak, yang melambangkan harapan agar sang anak selalu menyebarkan kebaikan.
Tradisi Male Warga Loloan telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) sejak 2024. Pengakuan ini memberikan legalitas, hak kepemilikan pengetahuan, dan hak kekayaan intelektual, yang diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk pengakuan dunia sebagai ragam tradisi nusantara. (Surya Dharma/balipost)