TABANAN, BALIPOST.com – Masalah pelanggaran tata ruang belakangan marak menjadi perbincangan. Seperti indikasi pelanggaran di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, dan Desa Beraban, Kecamatan Tanah Lot.

Terkait hal itu, Dewan melalui Komisi I dan II meminta pihak eksekutif membuat batas waktu penyelesaian masalah tata ruang, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran.

Permintaan itu menjadi masukan Komisi I dan II dalam rapat kerja dengan pihak pemerintah atau eksekutif dengan agenda membahas pengawasan dan evaluasi terhadap berbagai potensi pelanggaran tata ruang.

“Kami tidak masuk ke wilayah secara spesifik. Kami bicara secara umum dalam upaya penegakan Perda RTRW dan RDTR,” jelas Ketua Komisi I DPRD Tabanan, I Gusti Nyoman Omardani.

Namun secara kasuistis, beberapa indikasi pelanggaran yang sempat dibahas dalam rapat kerja tersebut di antaranya kawasan Jatiluwih di Kecamatan Penebel dengan adanya aktivitas pembangunan sarana dan prasarana milik masyarakat di lahannya masing-masing.

Baca juga:  PSI Deklarasikan Dukungan ke Prabowo-Gibran

Demikian juga dengan beberapa persoalan tata ruang yang terjadi di Banjar Batugaing, Desa Beraban, Kecamatan Kediri belum lama ini dan sudah ditutup aktivitas pembangunannya oleh Satpol PP.

“Kalau kasuistis, kami ambil contoh kawasan Jatiluwih dan Beraban. Termasuk juga kawasan-kawasan lainnya. Di Jatiluwih ada 13 titik temuan dan di Beraban, khususnya di Banjar Batugaing, semuanya melanggar LSD (Lahan Sawah Dilindungi),” jelasnya.

Ia menyebutkan, pihak pemerintah melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP), dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sudah melaksanakan mekanisme penegakan aturan.

Baca juga:  Gedung DPR RI Digeledah KPK

“Ada beberapa mekanisme yang mesti mereka patuhi dan ikuti. Ini juga sedikit menghambat pelaksanaan penegakan aturan. Kalau tidak diikuti,pemerintah juga akan melanggar. Pemerintah ingin pendekatan yang humanis,” jelasnya.

Dengan berbagai persoalan yang ada, Omardani menyebut, perlu ada sosialisasi yang lebih massif terkait aturan mengenai tata ruang beserta proses perizinan yang perlu ditempuh masyarakat.

Sebab, sambung Omardani, banyak yang beranggapan dengan sudah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), masyarakat sudah punya izin untuk mendirikan bangunan.

Padahal, setelah keluarnya NIB, masyarakat yang hendak melakukan pembangunan masih harus mendapatkan beberapa izin lainnya seperti Informasi Tata Ruang (ITR) untuk lahan yang menjadi tempat pembangunan, Sertifikat Layak Fungsi (SLF) untuk bangunan yang didirikan, hingga Persetujuan Bangunan dan Gedung (PBG).

Baca juga:  Kekeringan, Petani Tempek Jemanik Marga Terancam Gagal Panen

“NIB itu belum merupakan izin. Ini yang harus dicermati dan disampaikan ke masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, pihaknya memandang perlu adanya aplikasi khusus bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan sosialisasi mengenai aturan tata ruang tersebut dan mekanisme perizinan yang perlu ditempuh untuk melakukan aktivitas pembangunan.

Terhadap indikasi pelanggaran yang sudah ada, pihaknya mengusulkan agar pemerintah memiliki batas waktu untuk melaksanakan mekanisme penindakan. Ini perlu dilakukan agar proses penindakan bisa dilakukan secara terukur. (Puspawati/Balipost)

BAGIKAN