Sanggar Widya Citta Desa dan Kecamatan Abang, Karangasem menampilkan garapan sastra "Beberokan", di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali, Art Center Denpasar, Kamis (26/6). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ada yang unik dan menggugah dari panggung “Taman Penasar” Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025, di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali Art Center Denpasar, Kamis (26/6) sore.

Sanggar Widya Citta dari Desa dan Kecamatan Abang, Karangasem, menampilkan sebuah garapan sastra berjudul “Beberokan”, yang mengangkat filosofi simbolik pelindung desa yang nyaris terlupakan generasi muda.

Beberokan bukan sekadar perwujudan fisik yang dipasang di batas desa saat hari Pengrupukan, melainkan simbol sawen atau penolak bala. Dalam tradisi, beberokan diyakini mampu menangkal aura negatif dan mengusir roh jahat sebagai bagian dari upacara ngelebar atau nangluk merana.

Namun kini, keberadaannya mulai memudar, dan fungsinya banyak yang tak lagi paham, khususnya kalangan muda.

Taman Penasar pun menjadi media penyadaran lewat seni tutur dan sastra. Garapan ini memadukan pertunjukan seperti arja petegak yang menampilkan para penembang dan peneges (penjelas narasi) dalam posisi duduk, namun sarat karakter dan pesan kuat.

Baca juga:  Diduga Ribut Saat Pesta Miras, Buruh Proyek Bersimbah Darah

Dalam pertunjukan ini, beberokan dipersonifikasikan ke dalam dua tokoh. Satu tokoh pro tradisi yang menjunjung tinggi nilai-nilai dalam simbol beberokan, dan satu lainnya tokoh kontra yang mencemooh dan menganggapnya sebagai hal kuno, bahkan sampah.

Konflik ideologis ini dipertemukan lewat rangkaian pupuh seperti pangkur, semarandana, durma, ginanti, dan pucung, yang masing-masing menggambarkan perjalanan psikologis dan spiritual sang tokoh penolak tradisi hingga akhirnya sadar dan menerima kembali warisan leluhur.

Pementasan dibuka dengan pupuh pangkur, mengisahkan munculnya penolakan terhadap simbol tradisi. Lalu perlahan, satu per satu pupuh menggambarkan nilai-nilai luhur beberokan dan alasan mengapa ia layak dipertahankan. Kesadaran tokoh pun hadir di pupuh durma, sebagai klimaks penyadaran budaya.

Baca juga:  H-3 Pembukaan PKB 2025, Persiapan di Art Center Sudah 90 Persen

Ketua Sanggar Widya Citta, Ida Wayan Wahyu Pramana Sugata, menyebut garapan ini sebagai upaya membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya merawat simbol-simbol budaya yang sarat filosofi. “Beberokan ini tidak boleh hanya jadi benda mati yang dipasang setahun sekali, tapi harus dimaknai dan diwariskan secara hidup oleh generasi muda,” ujarnya.

Koordinator juri, Sang Ketut Sandiyasa, mengapresiasi penampilan sanggar ini. Menurutnya, kualitas peserta Taman Penasar tahun ini menunjukkan perkembangan positif, tidak semata tampil untuk menjadi juara, namun untuk mengekspresikan kreativitas dan merawat warisan budaya.

Baca juga:  Tidak Dilibatkan Pementasan Drama Gong Lawas PKB 2025, Petruk Beri Tanggapan

“Dari 9 kabupaten, 7 ikut ambil bagian. Ini progres luar biasa. Modal mereka bisa nembang dan menghayati sangat penting untuk estafet ke bentuk seni lain seperti drama gong, topeng, wayang, hingga arja,” tandasnya.

Ia menambahkan bahwa tak semua daerah mampu rutin menampilkan garapan seperti ini karena regenerasi. “Tahun lalu bagus di satu daerah, tapi tahun ini tidak ada pemain. Itu bukan soal juara atau tidak, tapi soal keberlanjutan. Yang penting anak-anak muda tetap tumbuh dan belajar pakem,” tegasnya.

Beberokan di tangan Sanggar Widya Citta menjadi lebih dari sekadar simbol penolak bala. Ia menjadi media edukatif dan reflektif, mengingatkan masyarakat akan akar-akar budaya yang harus terus dirawat agar tidak lapuk dimakan zaman. (Adv/balipost)

BAGIKAN