
DENPASAR, BALIPOST.com – Ardha Candra telah lama menjadi nama populer bagi kalangan seniman dan penikmat seni di Bali. Bahkan, bagi para pelaku seni, mendapat kesempatan tampil di Ardha Candra adalah mimpi besar. Konon tempat yang juga populer dengan sebutan Art Centre ini sarat taksu.
terlebih sejak Pesta Kesenian Bali (PKB) untuk pertama kalinya digulirkan tahun 1979 oleh oleh Gubernur Bali ke-6 Ida Bagus Mantra, antusias krama Bali untuk menikmati budayanya tumpah ruah.
Ardha Candra yang merupakan istilah dari Bahasa Sansekerta secara makna dalam konteks seni budaya berarti bulan sabit yang memberikan vibrasi keindahan, cahaya dan kelembutan. Kini, memasuki bulan Juni 2025, gaung Pesta Kesenian Bali hangat.
Tidak hanya waktu pagelarannya makin dekat, juga karena adanya banyak isu yang mencuat. Mulai dari persiapan, biaya dan tata kelolanya. Isu pelarangan pentas dengan kata–kata kasar juga mencuat.
Gaungnya bahkan melebihi persiapan pesta tahunan ini. Terlepas dari semua itu, yang jelas bagi para pelaku seni, PKB merupakan momentum seni yang harus dikelola dengan tata kelola yang jelas dan profesional. PKB adalah ajang seni budaya, bukan persoalan bisnis, apalagi politik.
Pesta Kesenian Bali tahun 2025 ini mengusung tema Jagat Kerthi Bali atau Harmoni Semesta Raya. Dana yang dikucurkan tahun ini mencapai Rp10,02 miliar. Angka ini tertinggi sepanjang sejarah pagelaran PKB sejak tahun 1979.
Lima tahun terakhir anggaran PKB paling tinggi Rp9,59 miliar. Bahkan sempat di angka Rp5 miliar di tahun 2022 pasca-Covid-19.
Terlepas dari anggaran dan pelibatan seniman, PKB hendaknya jangan monoton dan menjadi pesta rutinitas. Harus ada unsur kebaruan yang ditawarkan.
Sebagai ruang ekspresi seni dan kolaborasi budaya, Pesta Kesenian Bali harus benar-benar menjadi pesta para seniman para penikmat seni. Ruang kreasi dan inovasi harus mendapat fasilitas selain unsur tradisi.
Konsultan seni Komang Astita asal Banjar Kaliungu Kaja yang pernah menjadi kurator PKB beberapa periode mengatakan, seorang penikmat seni perlu sebuah pemahaman untuk mengetahui unsur kebaruan atau hal baru yang ditampilkan. “Tapi dalam waktu yang singkat, pemahaman tidak akan tercapai sehingga orang mungkin merasakan belum meniknati hal baru. Padahal di ajang pesta seni sudah ada pengembangan,” ujar pensiunan dosen ISI Denpasar ini.
Apalagi gamelan, seni karawitan atau karya adalah sebuah ekspresi yang terbuka untuk dikembangkan. Komposer menyajikan sebuah ekspresi yang berbeda dengan tradisi lama. Namun, juga memberi ruang kepada upaya-upaya kreatif untuk mengeksploitasi potensi yang ada pada gamelan. “Bagi penikmat yang biasa mendengarkan gamelan klasik yang sudah ada, bisa terkejut atau tidak memahami nada-nada itu,” ungkap mantan Ketua Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Bali dan Denpasar ini.
Ia mengaku sejak awal PKB digelar ia sudah terlibat. Pecinta karawitan ini ingin terus berkarya bahkan sosoknya sebagai tenaga pendidik telah melahirkan banyak komposer, koreografer yang sangat membanggakan baginya.
Apalagi megetahui karya yang dihasilkan anak didiknya telah berkembang pesat. Untuk itu, tokoh seni yang juga mantan akademisi berharap Pesta Kesenian Bali benar-benar menjadi ruang ekspresi seni, bukan ruang bisnis apalagi untuk politisasi seni.
Lalu apakah PKB efektif sebagai ajang regenerasi seniman? Setidaknya, menurut Pemilik Sanggar Swasti Swara, Pedungan I Ketut Swastika PKB merupakan ruang pelestraian, pewarisan dan perawatan seni budaya. Regenarsi seni banyak lahir dari ajang ini. Ia mengaku telah dilibatkan di PKB sejak 2014 terutama membina gender wayang.
Ia mengaku merasakan hal yang berbeda dalam PKB setiap tahunnya. “Perkembangan gender wayang dikalangan generasi muda sangat pesat. Ini karena adanya event-event seperti PKB. Ini menantang para seniman melakukan regenerasi untuk bisa menjaga seni main gender wayang yang juga bertalian erat dengan ritual keagamanan,’’ ujranya.
Ia berpandangan PKB ini telah menjelma menjadi mesin pencetak generasi baru gender wayang khususnya. Kesenian klasik semacam gender wayang, dulunya tak banyak peminat karena terkesan kuno.
Namun, dengan PKB, gender wayang menjadi kesenian yang terangkat popularitasnya hingga ada hal-hal baru yang ditampilkan. Dampaknya tidak membosankan. ”Kesenian klasik sudah mulai digemari di masyarakat,’’ ujarnya. (Citta Maya/balipost)