Ilustrasi anak-anak hendak bermain surfing di Pantai Kuta, Badung. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Eksploitasi seksual terhadap anak rentan terjadi di daerah pariwisata, termasuk di Bali. Dari transaksi keuangan yang terpantau, sejak tahun 2014 hingga 2024 ada sekitar Rp127 miliar transaksi yang diduga kuat berhubungan dengan prostitusi melibatkan anak di Indonesia. Sekitar 24.000 anak jadi korban eksploitasi seksual. Hal tersebut terungkap saat Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respons Terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak yang digelar di Aston Denpasar pada Rabu (7/8).

Koordinator Kelompok Hubungan Masyarakat Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), M.
Natsir Kongah dalam acara tersebut mengatakan, dari
yang terhimpun sejak 10 tahun terakhir tercatat sekitar 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, 128 anak Korban perdagangan dan 481 anak korban pornografi di Indonesia.

Di sisi lain, dugaan prostitusi pada anak sekitar 24.000
anak di rentang usia 10-18 tahun dengan frekuensi transaksi mencapai 130.000 kali. Nilai perputaran uang mencapai Rp127.371.000.000 atau Rp127 miliar. “Itu kan baru data yang disampaikan industri perbankan. Sementara apa yang terjadi di samping rumah kita, kita ga ada melapor, masih abai,” katanya.

Menurut Natsir, eksploitasi seksual terhadap anak ini sangat rentan terjadi di kawasan pariwisata. Termasuk Bali yang menjadi destinasi wisatawan dunia dan banyak dikunjungi oleh orang-orang di berbagai negara. Namun, dirinya tak merinci berapa kasus dan jumlah transaksi untuk kasus eksploitasi seksual terhadap anak di Bali. “Secara umum, daerah wisata jadi tempat ekploitasi seksual anak, termasuk Bali. Apalagi di Bali banyak sekali. Semua tempat wisata itu ada dan rentan,” katanya.

Baca juga:  Karena Ini, LPJ Dipasang di Seluruh Kawasan Pariwisata

Selanjutnya, Data Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual anak mencapai 44 selama periode tahun 2014-2024.

Terdapat 2 hasil analisis PPATK yang terkait dengan eksploitasi seksual anak pada tahun 2023, 34 pada tahun 2021 dan 2 pada tahun 2023 yang terkait dengan perlindungan anak, pornografi, perdagangan orang, informasi dan transaksi elektronik, child sex exploitation, dan/atau kejahatan lintas negara lainnya.

Juga ada 1 hasil analisis pada tahun 2021 yang terkait dengan perdagangan orang, pornografi, ite, dan perlindungan anak. “Temuan aktivitas perdagangan orang di Indonesia pada tahun 2022, termasuk eksploitasi seksual anak di dalamnya, mencatat perputaran uang sejumlah Rp114 miliar,” imbuhnya.

Kemudian, Data Interpol pada Juni 2024 menyebut kaitan 69 negara yang terlibat dalam jejaring eksploitasi seksual anak ini. Ia menambahkan, transaksi yang dilakukan menggunakan penyedia jasa keuangan baik rekening bank, dompet elektronik (e-wallet), dan pedagang fisik aset kripto (exchanger) termasuk Bitcoin.

Baca juga:  Pantai Yeh Gangga Masuk KDTWK Tanah Lot

“Uang-uang transaksinya relatif kecil, ada Rp2 juta, Rp 5 juta. Itu kemudian ditransfer ke beberapa rekening, kemudian lagi ditransfer ke rekening lain. Dan itu kami selidiki dan ada indikasi dugaan eksploitasi seksual terhadap anak,” katanya.

Model kejahatan ini pun dilakukan dengan sistem online maupun sistem konvensional dimana ada seorang mucikari yang mengumpulkan anak-anak, kemudian membuat video sesuai pesanan konsumen.

Dirinya menambahkan, untuk negara terbesar di ASEAN untuk kasus ini yakni Thailand, Filipina, dan juga Indonesia. Untuk pelaksanaan antisipasi, pihaknya meminta semua pihak terlibat, mulai dari dari orang tua, maupun lingkungan.

Ia mengatakan, PPATK bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait telah melaksanakan Focus-Group Discussion guna memformulasikan draf Concept Note dan Kuesioner yang akan bermuara pada output berupa dokumen indikator red flag transaksi keuangan mencurigakan yang berkaitan dengan kejahatan eksploitasi seksual anak.

Proses ini akan melibatkan partisipasi aktif dari penyedia jasa keuangan yang terdiri atas perbankan, penyelenggara transfer dana (money remittance), penyelenggara dompet elektronik (e-wallet), dan pedagang fisik aset kripto (exchanger), termasuk juga lembaga intelijen keuangan, penegak hukum, dan pakar di bidang anti-eksploitasi seksual anak. Draf pertama dokumen ditargetkan selesai pada November 2024.

Baca juga:  Penusukan hingga Tewas saat Pawai Ogoh-ogoh, Ini Kronologisnya

Sementara itu, ECPAT Indonesia telah mengidentifikasi ada 26 anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual di ranah dalam jaringan dengan menggunakan transaksi live streaming untuk tujuan seksual dengan menggunakan platform digital pembayaran (Financial Technology) seperti e-wallet dan bentuk pembayaran lainnya yang tersedia di platform tersebut. “Ada tiga jenis mata uang sebagai alat transaksi yang digunakan yaitu rupiah (Rp), dollar amerika (US$) dan Euro (Є), dengan kisaran besaran tarif paling rendah adalah jenis prostitusi sedangkan tarif tertinggi terdapat pada penawaran live streaming untuk tujuan seksual, yang berkisar antara 100 ribu rupiah hingga 5 juta rupiah,” kata Ahmad Sofian dari ECPAT Indonesia.

Selain itu, pihaknya juga menemukan ada kasus live streaming kekerasan seksual anak yang menggunakan modus top up dari game online, dengan korban yang berusia muda dan sekolah di sekolah menengah pertama (SMP).

Sementara itu, Fachrizal Afandi dari Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminolog (ASPERHUPIKI) mengatakan kejahatan ini berjejaring serta rapi dengan jangkauan internasional. “Indonesia kadang terlambat menyadari hal ini, namun hal ini belum terlambat untuk ditangani,” katanya.

Dirinya menambahkan dalam forum ini akan ditampilkan sebanyak 58 makalah yang dipresentasikan peneliti, dosen, hukum, hingga PPATK. (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN