
DENPASAR, BALIPOST.com – Setelah didakwa atas kasus dugaan permintaan uang Rp 10 miliar kepada investor, Bandesa Berawa I Ketut Riana melalui kuasa hukumnya I Gede Pasek Suardika dkk., Kamis (6/6) diberikan kesempatan mengajukan eksepsi.
Dalam eksepsi yang dibacakan didepan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa, pihak terdakwa menyebut bahwa dakwaan JPU tidak cermat dan cacat formil. Salah satu yang duraikan adalah kasus yang awalnya dari jual beli tanah kemudian hilang dan beralih ke kasus Amdal.
Pihak terdakwa curiga kasus ini sengaja dialihkan karena lahan yang disebut dijualbelikan itu adalah lahan Pemprov Bali yang saat ini, menurut Pasek Suardika digarap oleh investor asing asal Rusia.
Pasek pun meminta supaya Pj Gubernur Bali membuat tim khusus terkait aset Pemprov Bali. “Karena di situ potensi korupsinya sangat besar, bahkan mencapai ratusan miliar,” ucap Pasek Suardika.
Dijelaskan dalam eksepsinya, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki kewenangan melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap warga yang bukan merupakan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara membuat dakwaan ini cacat formil.
“Dengan proses awal yang cacat formil dan dilakukan oleh institusi yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut maka sudah seharusnya kasus ini dihentikan agar kesesatan proses tidak berlanjut lebih jauh lagi,” ujar Pasek.
Bendesa bukanlah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sebagai bendesa adat, terdakwa dipilih dan disahkan oleh krama adat Berawa dan tidak ada satu SK ditetapkan oleh pemerintah, lembaga ataupun badan milik pemerintah. Sehingga tidak ada kewenangan JPU sebagai jaksa melakukan operasi tangkap tangan, terlebih pertemuan tersebut dengan pihak swasta yang bernama Andianto Nahak T Moruk yang merupakan pegawai dengan jabatan direktur di sebuah PT milik swasta, bukan BUMN, BUMD.
Tafsir memaksakan bendesa adat dinilai sebagai pegawai negeri dengan tafsir yang diperluas juga termasuk bagian dari abuse of power atau misbruik van recht dan melanggar prinsip dasar asas legalitas. Sebab bendesa adat adalah sifatnya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sifatnya otonom dan bukan bagian dari pemerintahan formal.
Bendesa Adat tidak bisa dipaksakan dianggap memenuhi pengertian “Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah”. Dan jika diyakini peristiwa dimana penangkapan OTT dilakukan itu adalah tindak pidana, sudah seharusnya Kejati Bali bisa berkoordinasi dengan kepolisian yang memang memiliki kewenangan dalam hal pidana umum.
Jika hal ini dilakukan maka potensi cacat formil tidak akan terjadi karena kejaksaan melaksanakan fungsi penuntutan dalam perkara ini, dan yang terpenting kewenangan untuk mengadili kasus ini berada di pengadilan negeri dan bukan di pengadian tindak pidana korupsi.
Yang lantang dipersoalkan oleh pihak terdakwa juga soal jual beli aset yang hilang dari dakwaan. Apalagi di sana ternyata yang digarap oleh PT Berawa Bali Utama atau The Magnum Berawa Residence adalah mayoritas lahan milik Pemprov Bali.
Dalam surat dakwaan menyebutkan terdakwa melakukan pemerasan kepada investor terkait izin akomodasi pariwisata. Dalam dakwaan tidak pernah disebutkan siapa nama pengusaha yang mengurus ijin akomodasi pariwisata tersebut dan bagaimana cara terdakwa memeras pengusaha atau investor tersebut.
“Disebut ada nama perusahaan PT Berawa Bali Utama, tetapi tidak terungkap bagaimana perusahaan tersebut diperas oleh terdakwa dan siapa nama pemimpin perusahaan yang bertemu dan diperas oleh terdakwa. Sebab nama yang tersebut Andianto Nahak bukanlah pengusaha dan bukan juga investor bila dikaitkan dengan narasi peristiwa hukum yang dibangun dalam dakwaan JPU. Seharusnya dalam kasus ini jelas ada korban yang muncul, tetapi dalam dakwaan yang muncul hanya broker pengurus ijin dan bukan pengusaha atau investornya,” tegas Pasek Suardika. (Miasa/balipost)