Putu Winastra. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Setelah banyaknya orang asing membuat ulah di Bali, muncul dugaan hal tersebut dikarenakan pariwisata Bali dijual murah pascapandemi Covid-19. Namun, hal tersebut ditampik pelaku pariwisata yang menyebut bahwa yang membuat onar belum tentu wisatawan. Mereka mengapresiasi ketegasan Gubernur Wayan Koster dengan mendeportasi WNA yang melanggar aturan dan tak menghornati budaya Bali.

Ketua DPD Asita Bali, Putu Winastra dalam Dialog Merah Putih bertajuk ”Bali jangan dijual murah,” di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar, Rabu (29/3) mengatakan, harus dibedakan antara wisatawan dengan foreigners (orang asing). Jika berbicara wisatawan terutama yang di-handle Asita, tidak mungkin lepas dari pengawasan Asita hingga berbuah ulah.

Menurutnya wisatawan yang di-handle Asita telah diberikan pedoman berwisata dan aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Bali. Namun, ketika berbicara orang asing, maka tidak bisa menyalahkan pelaku pariwisata karena hal tersebut merupakan domain dari imigrasi.

Wisatawan yang membuat ulah itu, kata dia, berarti bukan wisatawan tapi mereka foreigners, jadi orang asing yang bisa saja mereka tidak berlibur tapi bisa saja bekerja. Tapi ketika bicara wisatawan, jelas mereka berkunjung untuk leisure, wellness, spiritual, dan MICE. Bali sendiri menurutnya memiliki segmen market beragam mulai dari low, middle hingga high end. Bali memiliki produk untuk ketiga golongan wisatawan tersebut. Makanya dia menyebut pariwisata berkualitas bukan dilihat dari mahal tidaknya dia bayar hotel, namun dari perilakunya mentaat regulasi di Bali dan menghormati dan responsif dengan local wisdom Bali.

Baca juga:  Mempelai Pria Positif COVID-19, Seperti Ini Pengaturan Pernikahannya

Ke depan menurutnya perlu ada sistem yang bisa memantau pergerakan wisman atau orang asing masuk Bali. Dimana menginap, berapa hari di bali dan siapa pebnjamin mereka di Bali termasuk travel yang handle. Dengan demikian kita bisa mengetahui mereka ini benar-benar turis atau bukan. Sebab turis umumnya tak sampai berbulan-bulan tinggal di satu objek wisata.

Kedua, perlu  meng-counter isu-isu miring terkait Bali sebagai destinasi. Menurutnya, sebelunnya telah ada Bali Tourism Hospitality (BTH). Ia berharap lembaga tersebut kembali diaktifkan untuk mempromosikan destinasi Bali dan menyampaikan realitas tentang Bali. “BTH agar bisa memberikan corong bagi situasi Bali yang sebenarnya, baik berupa informasi tentang Bali atau mencounter isu negatife tentang Bali,” ujarnya.

Konsul Kehormatan Malaysia di Bali Panudiana Khun mengatakan, adanya sentimen bahwa Bali disebut dijual murah menurutnya tak perlu dirisaukan apalagi kebakaran jenggot. Karena saat ini Bali memang fokus untuk mendatangkan wisatawan sebanyak–banyaknya. Hal itu diperjuangkan Gubernur Koster dengan membuka Bali dari pariwisata internasional mendahului Malaysia.

Panudiana Kuhn. (BP/kmb)

Hal itu terlihat dari kebijakan pemerintah yang mengeluarkan VOA (visa on arrival). Dengan adanya VOA untuk beberapa negara, maka diharapkan wisatawan datang sebanyak-banyaknya bahkan VOA telah diberlakukan sebelum pandemi Covid-19.

Baca juga:  Tiga Minggu Berturut-turut, Dua Kabupaten Ini Masuk Zona Merah COVID-19

“Kalau tidak pakai VOA, kan pakai visa biasa dan nyarinya setengah mati, bisa 2 minggu-3 minggu di negaranya. Sedangkan urusan seleksinya nanti di lokasi yaitu menjadi kewenangan imigrasi, bawa uang berapa dan kartu kredit limitnya berapa,” bebernya.

Tidak hanya dari sisi kebijakan pemerintah, pelaku usaha pariwisata juga telah melakukan promosi untuk mendatangkan wisatawan. Terkait harga, menurutnya tergantung dari supply and demand. Bali memiliki 146 ribu kamar sehingga dengan banyaknya kamar, harga dan kualitas tentu menjadi pertimbangan wisatawan.

“Kita berusaha pasang harga tinggi tap ikan tergantung permintaan dan penawaran, karena Bali punya 146 ribu kamar. Sedangkan sekarang kedatangan wisman baru 1/3-1/2 dibandingkan kondisi 2019, jadi belum banyak. Jadi enggak usah risau dibilang jual murah. Paling tidak ada untung sedikit,” bebernya.

Selain faktor supply and demand, harga juga ditentukan BEP masing–masing perusahaan yang berbeda–beda. Dalam rangka mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya, pemerintah juga mendukung dengan mengeluarkan second home visa, sehingga pensiunan dipermudah tinggal di Bali.

Agar tidak dicap jual murah, maka kualitas produk juga mesti ditingkatkan. Infrastruktur mesti diperbaiki, ekosistem wisata dibuat nyaman agar tak ada kemacetan dan sampah, SDM juga berkualitas standar internasional. Untuk itu, pajak dari pariwisata selama ini agar diarahkan untuk perbaikan –perbaikan sektor itu juga.

Pelaku pariwisata Made Subawa mengatakan, dengan penindakan tegas dari Gubernur Bali dan pemerintah terhadap pelanggaran pelanggaran orang asing menunjukkan bahwa Bali tidak dijual murah. “Jika pelanggaraan atau segala tindakan orang asing dibiarkan bebas barulah disebut Bali dijual murah dan menjadi daerah bebas,” ujarnya.

Baca juga:  Bali Digital Festival untuk Jana Kerthi Menuju Bali Era Baru
Made Subawa. (BP/kmb)

Dia setuju pariwisata berkualitas beda dengan pariwisata premium alias mahal. Jika hanya dilihat dari harga kamar, tak bisa disamakan dengan hotel non bintang dan home stay dengan hotel bintang lima. Namun, pariwisata berkualitas itu, kata Subawa, adalah parwisata berkelanjutan dan menghormati konsep pariwisata budya di Bali.

Dia mengakui memang sulit membedakan wisatawan dengan bukan wisatawan. PR pemerintah adalah melakukan kajian dan analisa terkait setiap kedatangan orang yang datang. Dalam hal ini menurutnya semua komponen dan stakeholder pariwisata kooperatif untuk diajak bekerja sama.

“Ketika tamu datang ke Bali harus jelas, siapa mereka, tujuannya apa dan berapa lama di Bali maka dari situ peran pemerintah diperlukan. Seluruh anggota Asita misalnya, tidak mungkin punya wisatawan seperti wisatawan berulah,” tandasnya.

Kedua, Pemprov Bali sudah memiliki acuan jelas soal pariwisata yakni Perda No. 5/tahun 2020 tentang Standar Penyelengaraan Kepariwisataan Budaya Bali, dan Pergub Bali No 28/2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali harusnya dijalankan oleh semua komponen Pemkab di 9 kabupaten/kota di Bali sehingga tak lagi terkesan tumpang tindih dengan alasan otonomi daerah. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *