Suasana paripurna DPRD Bali terkait penetapan Ranperda RPIP Bali. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor tersier yaitu pariwisata masih mendominasi perekonomian Bali. Hal ini membuat Pulau Dewata menjadi sangat tergantung pada situasi yang ada.

Baik politik, krisis ekonomi, isu lingkungan maupun wabah penyakit sebagaimana situasi saat ini dengan adanya pandemi COVID-19. ‘’Jadi secara ketahanan ekonomi sejatinya sangat rentan, namun memang pariwisata ini tumbuh pun akibat adat budaya kita yang unik dan bernilai bagi wisatawan,’’ ujar anggota Komisi II DPRD Bali A.A. Ngurah Adhi Ardhana, Rabu (23/9).

Oleh karena itu, lanjut Adhi Ardhana, tidak dapat disalahkan ketika Bali dan masyarakatnya lantas menjadikan pariwisata sebagai keutamaan di bidang ekonomi. Namun, Pemprov Bali harus terus-menerus mengupayakan pengimbangan perkembangan sektor pariwisata dengan sektor-sektor lain.

Pengimbangan ini tentunya dapat menjadi fondasi yang lebih kuat seandainya ada permasalahan-permasalahan di sektor pariwisata. ‘’Seperti pengimbangan pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, UMKM dan salah satu lainnya termasuk industri,’’ jelas politisi PDI-P asal Denpasar ini.

Menurut Adhi Ardhana, Bali memiliki beberapa daerah yang berkarakter sebagai daerah perbatasan dengan provinsi lain, sehingga bisa dijadikan sebagai daerah pasar maupun daerah supply. Yaitu Kabupaten Jembrana dengan Provinsi Jawa Timur atau Pulau Jawa dan Kabupaten Karangasem dengan Provinsi NTB.

Ditambah lagi dengan adanya akses pelabuhan laut yang menjadi bagian dari tol laut program pemerintah pusat. Daya dukung Bali secara keekonomian sebagai daerah penghubung atau hub ini membawa keuntungan dalam mengembangkan industri. ‘’Baik industri pengolahan hasil alam hingga industri modern yang lebih mengarah pada keberpihakan pada efektivitas, teknologi informasi dan otomasi,’’ paparnya.

Baca juga:  Selain Garuda dengan Rute Sydney-Bali, Ada Dua Penerbangan Juga Mendarat Perdana

Adhi Ardhana menambahkan, keuntungan tersebut didukung pula dengan SDM Bali yang sangat siap. Hal itu tampak dari dunia pendidikan tinggi di Bali dan Indonesia sudah beradaptasi dengan sangat baik dalam menyikapi perubahan ataupun reformasi industri. Terlebih sekarang sudah memasuki industri 4.0.

Ada cukup banyak kaum terpelajar yang mendalami teknologi informasi dan juga otomasi. “Sehingga dapat dikatakan daya dukung SDM di Bali sangat siap, tinggal saat ini bagaimana pemerintah bisa mengarahkan investasi ke depan menjadi salah satu pengimbang dalam memperkuat fondasi ekonomi Bali,” pungkasnya.

Diwawancara terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali I Wayan Jarta mengatakan, Bali akan lebih banyak mendorong pertumbuhan industri kecil berbasis kerakyatan. Mulai dari industri rumah tangga, industri kelompok, industri dalam satu kawasan atau sentra-sentra industri, industri menengah dan industri besar dalam satu kawasan. “Jadi kalau kita berbicara daya dukung industri di dalam perekonomian Bali, memang sudah menjadi arah kebijakan Bapak Gubernur agar ke depan ini struktur ekonomi Bali tidak hanya didominasi oleh pariwisata,” ujarnya.

Jarta menambahkan, Gubernur menginginkan adanya keseimbangan pariwisata, industri kerajinan rakyat dan pertanian. Kendati, pariwisata pun sesungguhnya adalah industri. Namun berkaitan dengan industri, yang akan dikembangkan adalah industri manufaktur atau pengolahan.

Yakni dengan konsep membangun industri berbasis kerakyatan dari hulu sampai hilir yang kompetitif dan ber-branding Bali serta terintegrasi dan berkesinambungan. Selama ini sebetulnya sudah berjalan, tetapi akan lebih diperkuat dengan terbitnya Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) Bali Tahun 2020-2040. “Kan sudah jelas dibagi-bagi, di wilayah ini industri unggulannya apa. Misalnya di Jembrana nanti industri unggulan kita kakao. Kemudian di Gianyar misalnya daging, di Bangli kopi. Ini kita petakan dalam sebuah kawasan industri,” paparnya.

Baca juga:  Menpora Tinjau Pelatnas Kabaddi di GOR Lila Bhuana

Dari sisi SDM, menurut Jarta, kemampuan perajin dan UMKM dalam memproduksi sudah bagus. Akan tetapi, mereka masih memiliki kelemahan dari sisi packaging (kemasan), pemasaran, dan modal. Para perajin dan UMKM cenderung hanya memproduksi tanpa melihat peluang pasar yang ada, sehingga dapat menimbulkan kerugian.

Selain diberikan pelatihan teknis, ke depan mereka juga akan dibekali dengan pengetahuan manajerial. Termasuk akan difasilitasi sampai usahanya legal atau mendapat izin. Sebab, legalitas itu akan membuka akses permodalan di bank. “Kita akan dampingi membuat kemasan, sehingga produknya menjadi menarik. Setelah menarik, kita akan dampingi dan fasilitasi untuk bisa memasarkan dengan online maupun pasar konvensional yang ada,” terangnya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Prof. Wayan Ramantha mengatakan, ketergantungan Bali terhadap pariwisata membuat semua stakeholder ekonomi hanya berfokus pada bidang itu, sehingga potensi lain tidak tergarap dengan maksimal. Industri dengan kontribusi tertinggi keempat terhadap PDRB Bali dengan nilai Rp 10,36 triliun pada tahun 2019, jauh di bawah kontribusi pariwisata. Karena industri yang berkembang di Bali hanya Industri Mikro dan Kecil (IMK). ‘’Karena kita tidak memiliki industri besar,’’ ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, katanya, Bali memiliki potensi industri manufaktur yaitu industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furniture) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya, industri tekstil, industri minuman, industri makanan, industri pengolahan lainnya. Industri manufaktur yang ada di Bali terdiri dari dua yaitu IMK dan Industri Besar Sedang (IBS).

Baca juga:  Kapolri Minta Usut Dugaan Penyelundupan Pakaian Bekas Impor

Produksi industri manufaktur Besar dan Sedang (IBS) Provinsi Bali triwulan IV tahun 2019 tumbuh sebesar 11,48 persen (qtq). Angka ini di atas pertumbuhan nasional yang sebesar 0,09 persen pada periode yang sama.

Meski secara tahunan (yoy), IBS tumbuh 3,25 persen lebih rendah dari pertumbuhan nasional. Sementara itu produksi manufaktur Industri Mikro dan Kecil (IMK) Provinsi Bali pada triwulan IV tahun 2019 (qtq) tumbuh sebesar 1,90 persen, tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan nasional. Pun demikian secara yoy, IMK tumbuh 10,85 persen, lebih tinggi dari nasional. Dengan demikian, industri di Bali, di luar pariwisata, cukup potensial.

Agar industri ini bisa sebagai penyangga dan penyeimbang ekonomi Bali, kata Ramantha, perlu ada kebijakan keberpihakan pemerintah dalam bentuk pembinaan, permodalan, kualitas, dan pasar. Fokus pemerintah di sektor industri harus diutamakan. ‘’Perlu pengaturan agar industri yang berkembang nantinya tidak jauh melenceng dari budaya Bali. Maka, industri yang bisa dikembangkan adalah IKM berbasis kerajinan dan budaya Bali,’’ ujarnya.

Ramantha menegaskan, SDM Bali sangat potensial karena berbasis seni yaitu perajin. Tinggal mematangkan kualitas dan jiwa entrepreneur-nya. Sementara dari sisi tingkat pendidikan SDM di Bali juga cukup tinggi. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *