Suka Arjawa. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Sebuah media nasional yang mengutip dari seorang ahli Indonesia, kurang lebih mengatakan bahwa kita harus hati-hati di zaman normal baru ini karena rasa aman yang palsu. Ini merupakan ungkapan baru yang menjadi sandingan dari ‘’normal baru’’, sebuah ungkapan yang demikian memasyarakat sekarang di zaman COVID-19 ini, meski sesungguhnya ungkapan itu dimulai sejak Donald Trump berkuasa di Amerika Serikat.

Sebagai sebuah ungkapan, maka frase “rasa aman palsu” ini dapat ditelusuri maknanya sampai jauh ke dalam, mulai dari realitas yang dihadapi sampai dengan ungkapan batin yang muncul di balik (pengungkap) frase tersebut. Karena itulah frase ini dapat dipakai cerminan dan kemudian mampu dipakai bagi kita masyarakat untuk membimbing pola kehidupan sosial sekarang, di zaman COVID-19 ini, untuk lebih waspada demi keselamatan.

‘’Rasa aman palsu’’ yang diungkap itu pastilah mengacu kepada kondisi sosial yang dihadapi sekarang. Aktivitas sosial yang berlangsung di masyarakat kelihatan telah berdenyut di sana-sini, dan paling kelihatan di jalan raya. Ini disebabkan karena pemerintah telah melonggarkan berbagai aturan sebelumnya yang membatasi tindakan masyarakat. Di beberapa daerah, pembatasan sosial berskala besar sudah dikurangi dan masyarakat sudah dibolehkan untuk keluar rumah, meski dibarengi pesan ‘’dengan protokol kesehatan yang ketat’’.

Di banyak ruas jalan sudah kelihatan macet, ciri khas jalan protokol di kota-kota besar di Indonesia. Jika Anda lewat di jalan negara lintas Denpasar-Gilimanuk, sangat terasa bagaimana padatnya kendaraan dan lalu-lalang lalu lintas tidak ubahnya seperti sebelum Covid-19 mendera Indonesia. Juga di Jalan Gajah Mada, Denpasar.

Baca juga:  Ekonomi Biru, Solusi Perkuat Ketahanan Pangan

Suasana ramai ini mengesankan tidak ada persoalan dengan Covid-19 di Bali. Keramaian itu memberi nuansa keamanan suasana tersebut. Akan tetapi, jika kita lihat suasana di balik fenomena keramaian itu, bukan tidak mungkin akan memberikan pendapat yang memprihatinkan. Di balik keramaian mungkin ada tindakan sia-sia atau kepesimisan. Beberapa restoran telah buka di Bali, juga toko serta pasar kecil.

Sebagian dari mereka yang lewat di tengah keramaian itu, mungkin pegawai toko atau restoran, juga pedagang pasar. Bisa jadi ongkos bensin dari mereka itu ngepas atau minus jika dihitung dengan penghasilan mereka sebagai penjaga toko atau restoran karena pengunjung sepi.

Usaha-usaha sejenis, masih belum banyak pengunjungnya di Bali. Dengan begitu tindakan ramai di jalan itu dapat saja berupa pemborosan karena penghasilan mungkin tidak sebanding dengan biaya perjalanan. Belum lagi dihitung dengan keterbuangan waktu dan biaya kesehatan. Sering kita melupakan hal yang terakhir ini. Masyarakat di kampung yang jaraknya 50 atau 60 kilometer dari daerah tujuan wisata, rela ulang-alik pergi dari kampung setiap hari demi pekerjaan itu.

Tetapi  ‘’tabungan’’ kesehatan dari terpaan angin dan ketegangan di jalan, sama sekali tidak dihitung. Maka, kesehatan mereka di usia lanjut, 60 tahun ke atas, ada dalam ancaman. Tidak berbeda dengan ramainya lalu lintas sekarang. Mereka lalu-lalang tanpa sikap rasionalitas yang sesuai. Dari sinilah dapat dilacak keamanan palsu tersebut. Mereka (dipaksakan) merasa aman, tetapi ada kepalsuan yang membayangi.

Hanya jika Anda mencoba lewat di hotel-hotel besar di Sanur, Kuta dan Nusa Dua, ikon hotel dan wisata Bali, maka akan kelihatan bagaimana pengaruh Covid-19 secara internasional masih sangat terasa. Hotel di sana sepi. Di sinilah kenyataan yang terlihat bahwa keramaian yang ada di jalan raya itu terkesan sia-sia.

Baca juga:  Gerakan Kembali Mencintai Pertanian

Penggerak utama kehidupan sosial dan ekonomi di Bali adalah pariwisata, di mana terisinya hotel dengan turis-turis asing dan mancanegara itu menjadi sumber daya dari dinamika ekonomi tersebut. Maka, boleh jadi mereka yang menyibukkan diri di jalan raya itu adalah mereka yang kesibukannya palsu.

Bagi mereka yang bekerja di hotel mungkin datang demi kewajiban untuk aturan hotel dengan penghasilan yang sudah tidak sesuai lagi. Atau bagi mereka yang mencoba membuka toko suvenir, boleh jadi juga mencoba mencari peruntungan dengan harapan yang tidak jelas. Di sini sangat terlihat pemborosan waktu dan mungkin pertentangan batin antara apa yang seharusnya dikerjakan dan senyatanya dikerjakan.

Dari uraian di atas, maka frase ‘’rasa aman palsu’’ itu haruslah mendapat perhatian bagi semua pihak, masyarakat, pemerintah, keluarga maupun individu sendiri. Bagi pemerintah, ungkapan ‘’rasa aman palsu’’ tersebut merupakan sindiran dan peringatan dalam pembuatan kebijakan yang berskala nasional. Dikatakan sindiran karena ungkapan itu merupakan protes yang tersembunyi.

Protes yang terlalu terbuka, bisa jadi akan membahayakan stabilitas karena kepentingan untuk menggerakkan ekonomi merupakan kepentingan nasional yang berskala besar dan telah mendapatkan persetujuan kabinet. Namun di balik itu sangat terlihat bahwa kebijakan pelonggaran terhadap PSBB merupakan tindakan yang tergesa-gesa, kelihatan mencontoh negara-negara Eropa atau Amerika yang sudah terlebih dahulu melakukan itu.

Baca juga:  Sensus Penduduk dan Penantian Bonus Demografi

Melonjaknya dan tidak dapat dikendalikannya wabah Covid-19 ini membuktikan Indonesia tergesa-gesa, dan kurang pertimbangan sosial. Sebagai sebuah peringatan terhadap kebijakan, artinya bahwa ‘’rasa aman palsu’’ ini memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa upaya untuk membuat peninjauan ulang terhadap kebijakan yang sudah ada merupakan sesuatu yang bukan haram. Artinya boleh dan dimungkinkan lagi pemerintah membuat aturan PSBB.

Pada tingkat masyarakat, frase ‘’rasa aman palsu’’ itu merupakan peringatan keras, bahwa masyarakat harus dapat bertindak rasional dan cepat. Jika memang pariwisata tidak akan memungkinkan lagi sebagai penopang hidup, maka secepatnya haarus membuat keputusan untuk berubah arah sebagai sumber daya kehidupan.

Tidak mesti harus bertani karena hasil pertanian cukup lama memberikan hasil. Pilihan untuk menjadi profesional di bidang teknologi, menciptakan keterampilan baru atau mencoba mengolah masakan mungkin menjadi pilihan. Tidak usah berlama-lama main layangan dan melarikan diri menghibur diri dengan layangan tersebut.

Bagi individu dan keluarga, frase ini menjadi pembimbing untuk melecut mencari lagi bakat-bakat yang terpendam yang belum dieksplorasi secara kuat. Mungkin di masa lalu mempunyai bakat sebagai seorang pembuat masakan, tetapi karena terbius oleh pekerjaan formal, akhirnya terjun ke perusahaan tertentu semata-mata demi status ‘’bekerja’’. Sekaranglah kesempatan untuk menggali lagi keterampilan yang terpendam. Ingat, pencipta makanan cepat saji yang terkenal itu, baru memulai usahanya di umur sekitar 45 tahun, setelah pensiun dari dinas militer.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *