I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh : Dr. I Wayan Artika, s.Pd., M.Hum

Setelah hampir dua bulan sekolah tutup, perasaan kangen melanda siswa dan guru. Ternyata sekolah adalah sebuah tempat yang bisa bikin kangen. Meski demikian, ketika dalam kondisi normal, sekolah hadir sebagai lembaga formal dalam bidang pengajaran.

Pendekatan penyelenggaraan sekolah yang mengutamakan administrasi formal seakan telah memurnikan sekolah dari aspek humanis dan sosial, ruang untuk berlangsungnya hubungan sosial siswa, guru, pegawai, satpam, tukang kebun, para tukang kantin.

Kebijakan belajar di rumah ini mengajarkan kepada siswa dan guru bahwa dari segi hubungan sosial, sekolah tidak sedemikian buruk, seperti ruang-ruang tempat kuasa birokrasi kepala sekolah dan guru bekerja, tempat terjadinya praktik perundungan, penjejalan siswa dengan tugas-tugas pelajaran, dan karena itu ternyata dapat memberi banyak pengalaman yang patut dikenang, seperti siapa teman duduk, ‘’musuh’’, hal yang memalukan, hari ulang tahun yang memabukkan, semester dilanda cemburu, rasa dihargai dan disanjung sedemikian tinggi, dan lain-lain.

Sekolah menyimpan dimensi humanis dan sosial yang memang entah karena alasan apa, boleh disingkirkan oleh pengelolaan secara formal dan administrasi. Karena itulah hari-hari di sekolah menjadi sangat kaku. Namun hal ini rupanya hanya terjadi di permukaan sebagai konsekuensi dari perwujudan sekolah sebagai lembaga yang formal.

Justru yang formal dan administrasi dari pengelolaan itulah yang kerap kali dikritik dan sering dibenturkan dengan kemungkinan atau peluang untuk melakukan inovasi. Salah satu kritik untuk pengelolaan sekolah dan yang memengaruhi cara-cara guru mengajar dan berkomunikasi dengan siswa adalah bahwa sekolah lebih mengutamakan pendidikan kognisi dan mengabaikan pendidikan emosional. Maka yang diasah di sekolah hanyalah logika sementara kecerdasan emosional siswa sama sekali diabaikan.

Baca juga:  Guru dan Teknologi Saat Pandemi COVID-19

Adanya perasaan kangen kembali ke sekolah adalah dimensi emosional sekolah yang memang tetap ada namun tertimbun oleh pengelolaan pendidikan kognisi. Maka rasa kangen ini tidak untuk dimaknai kembali belajar lagi tetapi rasa ingin bersama sesama kawan dan guru-guru untuk bercerita, tertawa, bergosip, dan lain-lain.

Walaupun pendekatan formal sedemikian kuat, namun dimensi sosial dan humanis di sekolah yang ada di dalam diri insan siswa dan guru sebenarnya tidak hilang sama sekali. Rasa kangen saat ini, untuk ingin secepatnya balik ke sekolah, membayangkan apa saja cerita di hari-hari awal, karena adanya kebutuhan siswa terhadap hubungan sosial.

Maka rasa kangen sekolah lagi dan semoga bisa lebih awal dari rencana, menjadi bukti betapa buruk pendidikan jarak jauh atau belajar secara daring. Rasa kangen ini membuktikan jika sekolah telah membentuk dirinya sebagai sebuah habitat sosial dan bukan sekadar tempat siswa singgah dan duduk menyimak materi pelajaran. Karena itu, sekolah juga bukan sekadar tempat dan waktu yang dihabiskan lama untuk mendapat ijazah.

Di balik itu ada banyak pengalaman sosial yang didapat oleh siswa hanya saja dinilai tidak penting karena ada di luar pengalaman kurikulum formal. Namun, pengalaman sosial inilah yang kelak lama dikenang oleh siswa. Pengalaman kognitif kurang berbekas kuat dan bagi sebagian besar siswa hal itu sering menjadi kenangan buruk sehingga harus dilupakan.

Sayang sekali pengalaman belajar di rumah yang diiming-imingi dengan belajar secara daring adalah kegiatan belajar yang terjadi secara tiba-tiba ketika wabah melanda. Dalam hal pengelolaan atau praktik baik pelajaran daring, harus diakui masih pada tataran wacana-wacana inovasi pembelajaran di era 4.0. Secara nyata hal ini belum terjadi di sekolah-sekolah. Juga, budaya sekolah Indonesia adalah budaya belajar klasikal yang dilandasi oleh hubungan sosial sesama siswa yang sangat kuat sebagaimana hal ini juga dialami di dalam keluarga dan masyarakat. Maka jika tiba-tiba menempuh pelajaran daring atau belajar terpisah satu siswa dan siswa lainnya, maka jelas hal ini sangat menyalahi kultur belajar siswa. Karena itu, jujur saja, kegiatan belajar di rumah sangat tidak bermakna.

Baca juga:  Inflasi dan Daya Beli

Hari-hari belajar di rumah dan meretasnya rasa rindu untuk kembali lebih awal ke sekolah, namun masih belum bisa dipastikan, menunjukkan kultur belajar yang selama ini menjadi pilihan siswa di Indonesia. Hubungan sosial siswa di sekolah yang diabaikan oleh kurikulum ternyata hal yang sangat penting secara emosional bagi siswa. Maka, pesan rasa kangen yang melanda siswa dan guru adalah serangan halus kepada dominasi atau hegemoni pendekatan formal, kognitif, dan adminitratif.

Dalam pengalaman hubungan sosial selama di sekolah siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan mental emosional karakter menuju tingkat yang lebih tinggi, pendewasaan atau kematangan, yang mungkin tidak menjadi sasaran kurikulum. Siswa semakin bisa menempatkan diri dalam hubungan sosial. Walaupun mungkin ada siswa yang tetap egois dan hanya mengalami perubahan tidak berarti. Namun secara umum, hubungan sosial yang berdampak positif pada internalisasi karakter secara alamiah siswa selama masa sekolah adalah bonus besar pendidikan formal.

Baca juga:  Pertanian sebagai Basis Sekaligus Muara Pembangunan

Kelak, rasa kangen yang melanda ini menjadi catatan penting bagi pengelolaan sekolah yang terlampau formal. Aspek-aspek sosial dan emosional harus mulai mendapatkan perhatian. Kultur belajar siswa yang sosial dan guyub sangat bertentangan dengan kultur individual dan teknologis, seperti di negara-negara Barat. Karena itulah, kegiatan belajar di rumah menjadi satu persoalan. Bukan pada isi atau materi pembelajarannya tetapi pada aspek kultur belajar. Kultur belajar bersama dalam satu guyub kelas tidak terjadi dalam kegiatan belajar daring. Siswa merasa sendiri di rumahnya. Siswa mengalami kesepian. Sementara itu kenangan suasana sekolah dan kelas selalu membayang. Maka tampak sangat jelas, di mana kendala belajar daring atau belajar di rumah, tiada lain pada hubungan sosial.

Hubungan sosial adalah habitus yang disediakan sekolah, diam-diam tetap ada di bawah hegemoni pengelolaan formal. Hubungan sosial adalah kultur yang menjadi konteks atau seting belajar. Hari-hari belajar di rumah adalah hari-hari yang tidak menentu bagi siswa karena mereka merasa tercerai-berai atau tercerabut, mengalamai perasaan asing.

Dalam kondisi ini, sekolah atau guru-guru tidak mampu melakukan hal lebih, misalnya menyelenggarakan pertemuan bersama secara daring dengan menggunakan aplikasi tertentu. Guru-guru juga tidak sempat menelepon siswa-siswanya. Pelajaran daring hanya sampai pada mengirimkan tugas-tugas. Mungkin hanya hal ini saja yang dapat dikerjakan. Untuk mengobati rasa kangen mungkin antarsiswa perlu menyelenggarakan pertemuan-pertemuan lewat media sosial. Di dalamnya guru bisa hadir sebagai wakil sekolah, sebuah lembaga yang memang menyediakan ruang bagi perjumpaan dan pelepas kangen.

Penulis, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *