Suasana pengambilan nomor antrean di salah satu SMP di Denpasar untuk proses PPDB. (BP/Dokumen)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Protes penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi yang pada intinya mempersoalkan kecilnya persentase jalur prestasi akademik merepresentasikan pemahaman dangkal orangtua terhadap perubahan-perubahan paradigma pendidikan. Yang juga secara lebih ekstrem seperti kata-kata Paulo Freire.

Freire telah mengingatkan dengan tegas bahwa setiap orang harus berjuang untuk menjadi manusiawi. Maksudnya, mampu membebaskan diri dari kesadaran penindasan yang dikonstruksikan oleh kalangan atas.

Yang mana pemerintah ingin merealisasikan pemikiran Freire, tetapi segelintir masyarakat yang merasa berkuasa dan kalangan atas, dengan menolak PPDB zonasi, ingin melakukan penindasan bagi siswa kelas bawah. Mereka tetap memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai prestasi berupa daftar angka sempurna di buku rapor atau ijazah.

Kurikulum 2013 telah mengubah pelaporan hasil belajar siswa, dari kuantitatif menjadi kualitatif. Jauh sebelum ini di sekolah-sekolah berkembang paradigma keseimbangan otak kanan dan kiri karena sebelumnya pendidikan hanya menghargai otak kiri.

Tujuan pendidikan sejatinya holistik (nalar, tindakan, dan sikap). Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun, pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Dan, tujuan pendidikan hanya parsial, yakni pada segmentasi nalar (kognitif).

Hal itu memang dipicu sejak lama oleh kurikulum di sekolah yang kebanyakan berpusat pada mata pelajaran yang tersusun secara logis dan sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang dipelajari tamapaknya hanya perlu untuk kepentingan sekolah untuk ujian dan bukan untuk membantu anak agar hidup lebih efektif dalam masyarakatnya.

Baca juga:  SMP Negeri di Denpasar Hanya Tampung 3.636 Lulusan SD, Sepuluh Ribuan akan Masuk Swasta

‘’Kisruh’’ PPDB zonasi juga menunjukkan bahwa sekolah dipandang oleh masyarakat sebatas tempat belajar untuk ranah nalar. Masyarakat memahami tujuan pendidikan sangat sempit. Pandangan ini melandasi tuntutan masyarakat terhadap sekolah. Yang aneh, sekolah dan para guru mengikuti kesalahpahaman masyarakat, tidak mau menjelaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya prestasi kuantitatif, yang mana menurut Freire, para murid diperlakukan sebagai objek teori pengetahuan yang tidak berkesadaran terhadap realitas di sekelilingnya.

Pembangunan pendidikan selama ini yang berbasis pada sekolah ternyata kurang melibatkan masyarakat. Sekolah sama sekali tidak berperan secara sosial dan dipandang sebagai institusi ‘’asing’’ dan tertutup. Hal ini hendak diganti dengan pengembangan sekolah berbasis suatu kawasan atau wilayah. Sekolah dihadirkan di tengah-tengah wilayah permukiman. Tahap awal pendekatan baru ini adalah menerima siswa dari zona sekolah, sehingga sekolah benar-benar ada untuk masyarakat tersebut dan masyarakat ikut memiliki.

Satu contoh nyata zonasi adalah di SMPN 2 Singaraja. Kini pada jam masuk dan keluar sekolah, jalanan kota dipenuhi oleh siswa yang pergi sekolah berjalan kaki. Artinya, sekolah ini dijangkau oleh siswa dengan jalan kaki dan meringankan tugas orangtua harus antar-jemput anaknya. Sebelum zonasi, saat jam menjemput jalan di depan sekolah ini macet karena dipenuhi oleh para penjemput. Sayang sekali, paradigma pembangunan pendidikan berbasis suatu kawasan atau zona, kurang dipahami secara mendalam dan luas oleh masyarakat.

Jika masih gandrung bicara prestasi, sekolah di suatu zona pun akan berkembang ke arah itu, yang sangat bergantung kepada potensi atau kualitas siswa di kawasan ini. Prestasi sekolah untuk saat ini masih ditentukan oleh kualitas siswa, bukan oleh sistem belajar dan guru-guru. Karena itu, prestasi sekolah harus dibangun bersama masyarakat yang terlibat secara aktif dalam proses belajar. Hal ini belum terjadi. PPDB zonasi adalah langkah awal untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan, dari yang berbasis institusi atau sektoral menjadi berbasis wilayah dan masyarakat. Karena itu, masyarakat harus merasa memiliki sekolah karena yang mana sudah jelas anak-anak mereka belajar di dalamnya dalam waktu yang cukup lama.

Baca juga:  Perlu Sosialisasi Lebih Luas

Sekolah dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Sekolah akan menjadi kuat ketika keluarga dan komunitas terlibat aktif dalam pendidikan. Keragaman siswa di sekolah sangatlah banyak di antaranya: gender, sosial-ekonomi, agama, etnis, dan lain-lainnya. Minoritas dan mayoritas tidak begitu dipertimbangkan di sekolah dan untuk itu seorang guru harus memahami masyarakat, bekerja sama dengan orangtua secara efektif akan meningkatkan keniscayaan siswa menjadi sukses tidak hanya secara akademis di sekolah (padamu pendidikan Indonesia, ‘’Sekolah dan Masyarakat’’).

Hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat baik dukungan moral maupun finansial. Masyarakat di sini meliputi masyarakat setempat di mana sekolah itu berada, orangtua murid, masyarakat pengguna yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan.

Dalam konsep pendidikan diperlukan kerja sama antara sekolah dan masyarakat yang dimulai dengan komunikasi. Dalam komunikasi satu sama lain diperlukan inisiatif dari kedua belah pihak. Komunikasi interaktif menempatkan semua pihak sama penting. Diharapkan mampu menyampaikan pesan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar anak. Komunikasi yang interaktif perlu dilanjutkan dengan tindakan partisipatif, yakni mengembangkan hubungan kerja sama sekolah, orangtua, dan masyarakat untuk menjadikan lingkungan kondusif dalam menunjang efektivitas pembelajaran anak.

Baca juga:  Bersitegang, Urus Akta Kelahiran Antri Sampai Enam Jam 

Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip ‘’dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat’’. Pendidikan ‘’dari masyarakat’’ artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Pendidikan ‘’oleh masyarakat’’ artinya masyarakat ditempatkan sebagai subjek/pelaku pendidikan, bukan objek. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pendidikan ‘’untuk masyarakat’’ artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola, dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Sejalan dengan itu, Freire menginginkan proses belajar sebagai bentuk investigasi kenyataan. Maksudnya, proses pendidikan itu melibatkan indentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Konteks pendidikan negara agraris, misalnya, kurikulum pendidikannya juga harus melibatkan realitas permasalahan pertanian di dalamnya. Sehinga ‘’Pendidikan merupakan upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (nalar) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya’’ (Ki Hajar Dewantara); akan terwujud.

Penulis, dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *