Gubernur Wayan Koster. (BP/ist)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Urgensi agar pemerintah pusat segera melahirkan Undang-undang Provinsi Bali kerap menjadi pertanyaan. Secara lugas, Gubernur Bali Wayan Koster menjawab keberadaan UU itu penting untuk bisa mengelola Bali dalam satu kesatuan wilayah. Yaitu, satu pulau, satu pola, dan satu tata kelola. Pembangunan Bali kedepan diyakini akan menjadi lebih berimbang, adil, merata antar wilayah dan antar kelompok masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.

“Kita tidak mengajukan RUU tentang Otonomi Khusus baru, tapi RUU tentang Provinsi Bali. UU otonomi khusus itu sangat resisten secara politik, belum dibaca isinya orang sudah curiga duluan,” ujar Koster yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini dalam acara Paparan dan Diskusi RUU tentang Provinsi Bali di Wiswasabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Rabu (16/1).

Baca juga:  Cegah Kejahatan lewat Laut, Lanal Denpasar Rutin Patroli Perairan

Menurut Koster, RUU Provinsi Bali tetap dalam konteks NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945. RUU ini hanya ingin mengelola secara baik setiap kewenangan yang didelegasikan kepada Bali sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Substansi RUU tidak memberatkan pemerintah pusat dengan meminta kapling anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.

“Kita tidak meminta kapling anggaran, kita hanya ingin mengurus total Bali ini di semua sektor sesuai dengan kondisi yang kita miliki,” jelasnya.

Dalam 5 tahun kepemimpinannya, Koster ingin ada peningkatan capaian IPM Bali dari saat ini 74,30. Secara nasional, IPM Bali berada di peringkat 5 setelah DKI Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau (Kepri). Untuk meningkatkan IPM, 3 aspek akan dipacu yakni pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Paling tidak, Bali harus bisa melewati Kepri, Kalimantan Timur, dan Yogyakarta.

Baca juga:  Ini, 17 Desa/Kelurahan di Denpasar yang Alami Tambahan Kasus Positif COVID-19

Selain IPM, pihaknya juga ingin mengurangi ketergantungan terhadap pariwisata karena pariwisata merupakan sektor yang sensitif. Sementara saat ini, 70 persen pembangunan di Bali masih berbasis pariwisata. Belum lagi, pariwisata merupakan determinan terbesar yang menyebabkan kesenjangan antar daerah dan ketidakseimbangan pembangunan di Bali. Kesenjangan pembangunan turut memicu kesenjangan di berbagai bidang kehidupan, pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan lain-lain. Termasuk membuat Bali selatan jauh lebih maju dibandingkan Bali timur, utara, dan barat.

“Permasalahan ini memerlukan pendekatan pembangunan dalam satu kesatuan wilayah, 1 pulau, 1 pola, 1 tata kelola (one island, one management, one commando). Secara lebih spesifik ada dalam Bab IV Pasal 8 RUU Provinsi Bali yang mengatur tentang Urusan Pemerintah Provinsi,” jelasnya.

Baca juga:  Kurir Narkoba Ditangkap, Sekali Tempel Dapat Belasan Juta

Koster melanjutkan, dalam Bab IV Pasal 8 Point 3 disebutkan bahwa urusan pemerintahan tertentu yang sepenuhnya  menjadi kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom mencakup bidang kebudayaan, adat istiadat, tradisi, subak, desa adat, penataan ruang, periwisata, kependudukan, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Khusus di bidang ketenagakerjaan, RUU menaruh perhatian terhadap tenaga kerja lokal yang kerap memperoleh perlakuan diskriminasi. Utamanya karena dikait-kaitkan dengan ikatan adat istiadat yang mengharuskan mereka banyak meminta ijin.

“Kita atur nanti, jadi kalau dia ada upacara adat, ijin berapa jam, ya nanti harus diganti sehingga klop satu minggu terpenuhi kewajiban kerjanya,” jelasnya. (rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *