
DENPASAR, BALIPOST.com – Pelaku pariwisata meminta pemerintah untuk memperbanyak penempatan tong sampah di kawasan publik atau tempat-tempat umum. Hal ini untuk mencegah masyarakat maupun wisatawan membuang sampah sembarangan.
Pelaku pariwisata di Sanur, Denpasar Ida Bagus Ngurah Wijaya mengatakan, mengelola sampah merupakan hal yang gampang-gampang susah karena menyangkut komitmen dari pemegang otoritas untuk menangani sampah.
“Kalau kita lihat sekarang di tempat ramai, saya tidak pernah melihat ada tong sampah. Kalau tidak ada tong sampah, orang akan buang di mana-mana karena sampah itu tidak mau dibawa pulang. Pasti dibuang sembarangan tapi tempat pembuangan itu yang sekarang tidak ada,” ujarnya, Minggu (7/9).
Seperti di Lapangan Renon tidak ada, di pasar dan di tempat ramai seperti Gajah Mada, di Pantai Kuta tidak ada tempat sampah.”Sekarang bagaimana upaya mengumpulkan sampah-sampah itu sehingga orang itu (petugas kebersihan) gampang mengambilnya,” ujar Owner Segara Village hotel ini.
Ia mengusulkan, pemerintah menempatkan lebih banyak tong sampah di tempat-tempat keramaian dan tempat wisata di Bali. Menurutnya, persoalan sampah di Bali muncul karena tidak ada tempatnya.
“Kalau sudah ada tong sampah di mana-mana, tinggal collecting-nya. Tidak usah meniru Singapura, karena jauh, karena pendidikan kita masih rata-rata lebih rendah dari mereka,” ujarnya.
Pemerintah harus menyediakan tempat sampah di semua titik, di mana ada keramaian harus ada tempat sampah. Pemerintah harus kerjasama dengan swasta, misalkan toko-toko diharuskan memiliki tong sampah, perusahaan-perusahaan juga harus memiliki tong sampah. “Di ruang publik harus ada tong sampah, kalau sudah di tong sampah, akan gampang diambil petugas,” jelas Ngurah Wijaya.
Sementara petugas swadaya sampah Banjar Batur, Peguyangan Kaja Agus mengaku kewalahan menangani sampah pasca TPA Suwung tutup untuk sampah organik. Pasalnya sekaa pengelolaan sampahnya tidak memiliki sumber daya yang mapan untuk mengelola sampah organik.
Sementara pembuatan teba modern yang diinstruksikan pemerintah tak cukup menampung sampah masyarakat. Mengingat pengkomposan sampah organik memerlukan waktu berbulan-bulan sehingga produksi sampah organik per harinya sulit untuk ditampung di teba modern. Apalagi bulan September ini cukup banyak upacara yang harus dilaksanakan.
Ia sendiri terhimpit dengan situasi yang mana harus mengambil sampah pelanggannya sesuai jadwal sedangkan tempat pembuangan minim. Di satu sisi, ia dan sekaanya hanya mengandalkan penghasilan dari iuran masyarakat Rp20.000 per bulan. “Kalau sampahnya tidak diambil karena tidak ada tempat pembuangan, kami jadi malu untuk menarik iuran bulanan ke pelanggan,” ujarnya.
Jika hingga Desember, pemerintah belum memberikan solusi terhadap persoalan sampah ini, ia mengaku akan menyerah menjadi petugas swakelola sampah, karena baginya tekanannya cukup menyesakkan baginya. (Citta Maya/Balipost)