
SINGARAJA, BALIPOST.com – Singaraja Literary Festival (SLF) 2025 kembali digelar. Event tahunan kali ini lebih mengusung konsep kontemplatif dan kolaborasi.
Pelaksanaanya akan difokuskan di Museum Gedong Kirtya, Singaraja pada 25–27 Juli mendatang. Direktur dan pendiri SLF, Kadek Sonia Piscayanti, ditemui Selasa (22/7) mengatakan Singaraja Literary Festival (SLF) 2025 mengangkat tema “Buda Kecapi”, yang berarti energi penyembuhan semesta.
Tema ini bukan sekadar simbolis. Di tengah krisis identitas, luka sosial, dan keterputusan dari akar budaya, sastra tampil sebagai ruang pemulihan kolektif. “Ada luka yang tak disadari. Dan warisan sastra kita, terutama lontar, bisa menjadi penawar. Di sanalah kami menemukan Buda Kecapi,” ujar Sonia.
Menurut Sonia, Buda Kecapi merupakan salah satu naskah kuno yang tersimpan di Gedong Kirtya. Di dalamnya termuat gagasan luhur tentang keseimbangan hidup, hubungan harmonis antara manusia dan semesta, serta nilai-nilai penyembuhan melalui seni dan kebijaksanaan lokal.
“SLF tahun ini berangkat dari teks itu. Kami tidak hanya menggali, tapi juga menafsir ulang dan mengalihwahanakan menjadi bentuk-bentuk seni yang lebih dekat dengan generasi kini,” jelasnya.
Menurut Sonia, SLF 2025 dirancang sebagai ruang pertemuan lintas budaya dan lintas medium. Dari teks menjadi pertunjukan. Dari lontar menjadi film. Dari manuskrip menjadi puisi modern.
Festival ini menyuguhkan lebih dari 60 program selama tiga hari, mulai dari workshop melukis prasi (ilustrasi pada lontar), kelas penulisan kreatif, diskusi panel, peluncuran buku, pertunjukan teater, pemutaran film pendek, hingga kolaborasi lintas komunitas seni.
Uniknya, festival ini juga memberi panggung bagi penulis dan seniman dari berbagai penjuru Indonesia serta dunia. “Kami mengundang ratusan partisipan dari Asia Pasifik hingga Eropa. Ini bentuk keberagaman perspektif yang kami rayakan,” tambah Sonia.
Sonia menyebut, Gedong Kirtya, tempat penyelenggaraan SLF, bukanlah ruang sembarangan. Didirikan pada masa kolonial Belanda, tempat ini menyimpan ribuan naskah lontar yang berisi warisan ilmu pengobatan, hukum adat, etika, hingga estetika Bali.
“Gedong Kirtya bertransformasi dari museum pasif menjadi ruang yang hidup. Halamannya akan dipenuhi diskusi, performa, dan interaksi,” tutup Sonia. (Nyoman Yudha/balipost)