Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kebalian adalah karakter. Karakter adalah keadaan yang nyata ada. Inilah yang mendukung terbentuknya kenyataan. Keadaan yang nyata adanya merupakan kebutuhan untuk melanjutkan kehidupan dan inilah sebuah kejujuran. Kejujuran yang tanpa rekayasa. Itulah ketulusan yang teruji dalam hidup.

Ketulusan yang teruji dalam hidup melantunkan nada kehidupan yang nyata. Tidak berada dalam awang-awang. Itulah yang disebut filosofi kehidupan yang riil apalagi itu bukan sebatas janji surga ataupun yang lain semacamnya akan tetapi penuh dengan kenyataan yang bergulat persoalan hidup penuh perjuangan luhur terhadap kemajuan manusia dan lingkungannya tempat berada.

Itulah yang disebut dengan penerapan Tri Hita Karana bukan sebatas konsep bahkan implementasi akan tetapi sudah pada lulus pengujian. Pengujian dalam hidup tidak dapat ditentukan dengan dasar ketidakpastian yang bukan sebetulnya sebagai dasar kebenaran. Dasar kebenaran yang dicari adalah tidak merugikan keberadaan orang lain.

Inilah dasar yang penting untuk direnungkan agar mampu tidak menjadikan diri sendiri tidak mampu mengukur jika dirinya juga dirugikan sehingga kemampuan itu patut untuk diingat kembali mengingat Bali adalah sebuah kemampuan untuk meyadnya. Kemampuan meyadnya ini sudah sepatutnya pula didasarkan atas ketulusan bukan lagi normatif.

Baca juga:  Karakter : Muara Akhir Pendidikan

Untuk itulah makarya dalam arti kerja sudah menjadi dasar untuk dapat mayadnya dan semoga dituntun di jalan yang benar. Untuk itu pula pemuliaan Bali berarti mengembangkan yang tulus itu. Bukan sebaliknya terjebak dalam normatif keharusan yang tidak kritis. Inilah yang menjadikan masyarakat menjadi tidak harmonis.

Namun ukuran dari ketulusan itu mesti diuji dalam diri masing-masing agar tidak terjadi penyesalan. Karena salah dalam menilai ketulusan dapat terjebak pula dalam mekanisme sistemik sehingga budaya seolah-olah menjerat. Inilah sebagai bentuk yang nyata agar setiap manusia Bali mengerti duduk dari persoalan.

Artinya bahwa setiap orang ataupun individu punya kewenangan tertentu untuk tidak dipaksa atas dasar dirinya masih mau melaksanakan yang menjadi tradisinya baik laki-laki atau perempuan sehingga tidak kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu segala sistem mesti dievaluasi agar sesuai dengan kehidupan yang sesungguhnya.

Kehidupan yang sesungguhnya mengandung kesadaran untuk tetap bersemangat dalam mengejar apa yang sungguh-sungguh benar. Sungguh-sungguh benar terlepas dari menang dan kalah melainkan apa yang mampu untuk dijadikan agar diri semakin berkualitas. Berkualitas berarti tidak merugikan orang lain.

Baca juga:  Ekonomi Mengendurkan Krisis

Sekalipun mengatasnamakan Tuhan, apalagi mengatasnamakan harta benda. Itulah yang kemudian menuntun agar hidup tidak semarak. Semarak oleh kenyataan yang semu. Kenyataan yang semu berarti kehidupan yang bukan sesungguhnya itu adanya. Oleh karena itu, patutlah kiranya menjadikan Bali sebagai tempat untuk belajar rendah hati. Agar tidak kehilangan jati diri yang sejati.

Bali adalah meyadnya. Inilah kunci yang harus diselesaikan pengertiannya agar tidak terjebak hanya melulu diranah upacara melainkan yadnya dalam pengertian yang luas dan dalam. Kehidupan tidak mungkin tanpa yadnya. Namun, yadnya yang seperti apa saja sudah banyak dibahas. Akan tetapi, ada satu yadnya yang mesti disadari yaitu tidak merugikan orang lain terlebih pula artinya tidak merugikan diri sendiri pula adanya. Inilah cikal bakal dari pemuliaan Bali yang mengandung ketulusan.

Ketulusan yang dikandungnya menentukan bahwa hidup dalam dunia (mayapada) bukan untuk menuntaskan kekayaan ataupun bahkan kemakmuran melainkan agar setiap hidup mengandung keberanian untuk meyadnya dengan dasar tidak berhutang. Tidak berhutan artinya tidak takut untuk berkorban agar kehidupan semakin layak dijalani dalam konteks kebersamaan yang wajar.

Baca juga:  Narasi Politik Kaum Terdidik

Itulah yang menjadikan Bali selalu terbuka dalam arti tidak dirugikan karena ketulusan Bali juga tidak hendak merugikan melainkan memberikan inisiatif berupa inspirasi penting dalam memperkaya kebudayaan hidup sehingga orang selalu ingat untuk kembali datang ke Bali dengan selalu ada penyegaran tidak sekedar inspirasi melainkan membangun inisiatif.

Bali dengan kehidupannya memang sudah terkontaminasi dengan budaya manapun. Akan tetapi akankah kontaminasi itu dapat menjadi suatu keadaan yang negatif sehingga memunculkan suatu makhluk yang berbeda sekalipun masih bernama manusia yang hidup di Bali ataupun sudah melakukan suatu bentuk pemuliaan atas Bali itu sendiri.

Ini berarti bahwa pemuliaan atas Bali mengandung inisiatif yang menunjukkan jika Bali mengandung nilai. Nilai yang patut dan layak untuk dijadikan inisiatif dalam memutuskan agar hidupnya lebih berkualitas. Jika tidak maka pemulian itu sendiri menjadi gagal karena pemuliaan itu terjadi semata-mata karena Bali memang berkualitas.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *