Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Gempa bumi tektonik kembali mengguncang Bali, tiga kali berturut turut hanya dalam rentang waktu selama tiga minggu. Pada Sabtu 7 September 2024, gempa M = 4,9. Episenter/pusat gempa di darat berjarak 2 km timur laut Gianyar, kedalaman 10 km. Sabtu 14 September
2024, gempa M = 4,4. Episenter di laut, 50 km tenggara Kuta Selatan, pada kedalaman 85 km.

Sementara pada Sabtu 21 September 2024, terjadi lagi gempa dengan M = 4,8. Episenter di
darat, 3 km barat daya Gianyar, kedalaman 22 km. Gempa-gempa itu sekaligus mengingatkan kita akan potensi gempa bumi di Indonesia, karena Indonesia dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik; yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.

Ancaman sesungguhnya yang membuat Indonesia darurat bencana gempa bumi sebenarnya lebih disebabkan karena buruknya kualitas bangunan kita. Meski sebenarnya Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengatur tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung.

Baca juga:  Pak Haji Jatuh Dari Lantai Dua Ketika Selamatkan Anak Saat Gempa

SNI 03-1726,2002 yang telah direvisi menjadi SNI 1726;2019 telah dijadikan regulasi SNI yang berlaku wajib oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 20/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Namun, implementasi SNI tersebut di lapangan sangat lemah. Tidak hanya pada bangunan rakyat yang kebanyakan dibangun sendiri, namun bangunan publik seperti sekolah dan fasilitas kesehatanpun terbukti banyak yang tidak mengikuti standar SNI tersebut.

Sehingga terjadi kerusakan bangunan meski gempanya hanya berskala kecil. Gempa bumi di Kabupaten Bandung yang terjadi pada Rabu 18/9/2024 yang hanya berkekuatan relatif kecil dengan magnitudo 4,9, ternyata telah membuat kerusakan sekitar 700 bangunan rumah dan puluhan fasilitas publik. Hal ini menunjukkan lemahnya implementasi standar bangunan tahan gempa di Indonesia.

Dengan skala M = 4,9 guncangan gempa seharusnya tidak sampai menimbulkan kerusakan serius pada bangunan. Faktanya banyak bangunan yang rusak akibat gempa, sehingga menimbulkan jatuhnya korban. Gempanya sendiri tidak secara langsung menimbulkan korban, namun robohnya bangunan telah mengakibatkan jatuhnya korban gempa.

Baca juga:  Kolaborasi Budaya, Pertanian, dan Pariwisata Bali

Gempa dahsyat Yogyakarta 2006 berkekuatan 5,9 skala Richter, mencatat kerusakan berat bangunan di Bantul mencapai 143.135 unit, dengan korban meninggal 4.143 jiwa (2,86 % x bangunan roboh). Sementara di Kulon Progo 12.819 bangunan rusak  berat, dengan korban jiwa 22 orang (0,17 %).

Karena di Kulon Progo masih banyak rumah yang menggunakan material kayu dan bambu.
Konstruksi bangunan kayu atau bambu memang merupakan cara antisipasi nenek
moyang kita atas goncangan gempa yang sewaktu-waktu akan menimpa rumah mereka.
Material kayu/bambu dengan sistem struktur rangka, adalah bentuk yang cukup lentur terhadap beban horizontal yang merupakan ciri gaya beban gempa bumi.

Pada bangunan tembok/bata/batako sebenarnya juga ada solusi teknis sederhana agar
tahan gempa. Dalam buku yang ditulis Teddy Boen –ahli bangunan tahan gempa- bersama
peneliti di Pusat Studi Bencana Universitas Andalas, ditunjukkan cara memperkuat bangunan tembokan dengan ferosemen. Yaitu lapisan komposit dari adukan semen dengan kawat anyam, yang dipasang melapisi dinding bata/batako.

Baca juga:  Potensi Pemanfaatan Obligasi Sosial

Sementara Sarwidi –guru besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta- mengembangkan sistem Barrataga (bangunan rakyat tahan gempa). Dengan memberi pengikat praktis yang terbuat dari besi beton untuk memperkokoh bangunan. Juga dilengkapi dengan memberi lapisan pasir di bawah pondasi bangunan yang berfungsi sebagai bantalan yang meredam gaya gempa.

Serahkan pembangunan gedung kepada ahlinya. Sudah seharusnya tidak sembarang orang boleh melakukan pembangunan gedung dengan tanpa adanya penanggung jawab yang ahli.
Secara tradisi kebudayaan, di Bali ada undagi sebagai penanggung jawab pembuatan suatu
bangunan. Hanya undagi yang boleh melakukan perancangan dan penciptaan karya bangunan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS)
Bali, tinggal di Denpasar 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *