Dosen FISIP Universitas Udayana, Dr Kadek Dwita Apriyani. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – KPU Bali punya kewajiban moral membangun kesadaran politik di berbagai usia pemilih. Kesadaran berdemokrasi harus dibangun, sehingga pesta politik dengan biaya mahal melahirkan pemimpin yang kredibel dan terpercaya. Pemimpin yang lahir karena proses mobilisasi pilihan politik berpotensi menjadi bencana. Dalam konteks Pilkada Bali, pilihan politik dengan pendekatan pragmatis akan menjadi masalah besar bagi keberlanjutan keluhuran budaya Bali. Pandangan tentang pemilih dan keterpilihan ini dibedah oleh dosen FISIP Universitas Udayana Dr. Kadek Dwita Apriyani, S.Sos., M.I.P.

Ia mencermati angka pemilih di Bali yang 56 persennya diisi Gen Z dan milenial, ia memastikan Gen Z punya pengaruh besar terhadap ekosistem demokrasi di Bali. Gen Z perlu diberi literasi politik, tidak hanya menggunakan hak pilih tapi juga terlibat dalam proses perpolitikan.

Doktor politik Jebolan Universitas Indonesia ini mengatakan, Gen Z belum masif terpapar literasi politik dari sosial media. Maka dari itu, upaya KPU Bali melakukan green election, harus dibarengi dengan upaya masif melakukan sosialisasi di sosial media.

Ia berharap Gen Z dapat menjadi generasi partisipatif dalam Pilkada Serentak 2024. Tidak hanya datang untuk mencoblos (memilih) tapi juga ikut aktif terlibat dalam proses pemilihan dan pembangunan ke depannya.

Partisipasi politik adalah kegiatan- kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

“Gen Z jangan mau jadi objek saja. Walaupun politik enggak lewat di FYP (for your page) tiktok kalian tapi politik bisa jadi seru karena menentukan otoritas. Politik menentukan otoritas politik dan demokrasi. Politik dan demokrasi tanpa partisipasi, nothing. Maka yang jadi PR adalah membuat partisipasi itu menjadi menarik, maka upaya-upaya untuk itu yang perlu dilakukan,” ujarnya.

Baca juga:  KI Bali Usulkan Kuota Rombel PPDB Dimaksimalkan, Penerimaan Gunakan NEM

Partisipasi ada dua jenis yaitu partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom yaitu partisipasi sukarela tanpa paksaan dan tekanan, melibatkan kesadaran. Sedangkan partisipasi dimobilisasi adalah partisipasi yang disebabkan oleh pihak lain dan melibatkan unsur tekanan atau manipulasi.

Keberhasilan pemilu menurutnya tidak hanya ditentukan oleh tingkat partisipasi tapi perlu melihat lebih dalam lagi, tingkat partisipasi yang terjadi apakah otonom atau dimobilisasi. Seperti di Polandia, pemilu di masa komunis, tingkat partisipasinya 96,6 persen. “Tingkat partisipasi yang tinggi tidak menjamin kualitas demokrasi di suatu negara. Di negara-negara yang memiliki kecenderungan otoriter, umumnya tingkat partisipasinya tinggi, tetapi partisipasinya dimobilisasi, bukan otonom. Sedangkan di negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi, angka golput terlihat lebih tinggi, namun dinamika partisipasi dalam bentuk lain misalnya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan pun lebih terasa,” ujarnya.

‘’Jika partisipasi politik dalam Pilkada dimobilisasi akan berbahaya bagi Bali. Maka dari itu Gen Z agar menggunakan hak politik untuk membuat perubahan dan menjamin keberlanjutan ajeg Bali dan keluhuran budayanya,’’ ujarnya. Karena hak politik berharga, jangan menyepelekan hak politik hanya dengan datang ke TPS untuk memilih, tapi ikut aktif berpartisipasi karena pengaruhnya besar sekali, karena jumlah kalian banyak, 56 persen.

Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Budiharjo mengajak peserta yang terdiri dari Gen Z dan siswa SMA/SMK diajak untuk mencermati informasi yang beredar di sosial media mengingat Gen Z saat ini dominan terpapar informasi dari handphone dan sosial media di dalamnya. Namun, sebelum mempercayai informasi yang beredar di sosial media, ia meminta untuk mencermati dengan merujuk dari informasi resmi seperti dari berita media pers yang melakukan cara kerja berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik termasuk mencari tahu kebenaran informasi. Salah satu ciri media pers adalah badan usahanya berbentuk PT, yayasan dan koperasi.

Baca juga:  Pasien COVID-19 Meninggal ke-53, Ini Asal dan Riwayat Penyakitnya

Dwita mengajak generasi Z khususnya untuk tidak memilih pemimpin berdasarkan viral base policy, hanya gimmick atau politainment (politik entertainment). “Perlu dilihat visi misinya, karena hal itu merupakan perencanaannya yang dibuat ketika menjadi pemimpin. Kalau engga, kita yang akan menjadi capek untuk memviralkan sesuatu supaya dia respons. Sampai umur berapa kerjaan kita memviralkan sesuatu. Mendingan lihat calon yang perencanaannya memang benar-benar bagus dan dia punya track record melaksanakan itu. Jadi ayo start menjadi pemilih rasional,” ujarnya.

Menurutnya boleh saja melakukan viral base policy, boleh politainment, dan memberi gimmick tapi harus disadari, hal-hal seperti itu waktunya pendek. Hanya dilakukan di masa transisi saja namun ke depannya diperlukan pemimpin yang memiliki konsistensi, track record dan visi misi yang jelas supaya ke depannya tidak lelah mendorong pembuatan kebijakan dari aksi memviralkan.

Ia mengatakan, viral base policy muncul karena ada masalah atau sumbatan di dalam sistem politik itu sendiri. Tadinya ketika aktor politik membuat kebijakan, sifatnya bertahap. Mulai dari Musrembang, direncanakan lalu dilaksanakan.

Tapi persoalannya adalah proses ini tidak dilakukan sebagaimana mestinya, sampai orang-orang yang merasa tidak masalah dengan kebijakan ini merasakan dampaknya. “Karena dampaknya yang engga enak ini, mereka akhirnya disuarakan. Itu berarti suara kita sangat berharga. Viral base policy ini bisa terjadi, kebijakan bisa berubah karena viral, sebenarnya itu bagus atau engga? Bagus bagi yang menuntut tapi engga bagus buat pemerintah karena pemerintah bekerja berdasarkan perencanaan,” tandasnya.

Baca juga:  Menag : Mahasabha PHDI Jangan Sampai Jadi Pintu Perpecahan

Semakin banyak viral base policy atau kebijakan yang dihasilkan dari viral atau kekagetan- ekagetan, hal itu memperlihatkan proses perencanaan tidak dilaksanakan secara baik dan proses eksekusinya tidak dilakukan dengan baik. “Seharusnya proses yang ada dievaluasi lalu maju menjadi proses perencanaan. Jadi viral base policy ini adalah kalian punya wahana,” ujarnya.

Lalu siapa yang bisa membuat viral base policy sebelumnya? Menurutnya generasi milenial ataupun generasi X tidak bisa, karena terlewati dengan jaman. Generasi Z (1997 – 2012) dapat melakukan perubahan dengan unjuk rasa dan sebagainya termasuk melakukan aksi viral.

“Generasi milenial (1981- 1996) kemana? Generasi milenial 33,6 persen, kita ke-skip sama zamannya. Kita tidak menciptakan sesuatu yang besar di dalam proses itu. Tapi mencoba untuk memberi tahu generasi Z bahwa dengan viral base policy dapat memberdayakan generasi Z, tapi viral base policy tidak boleh panjang. Dia cuma menyadarkan, persoalan viral base policy yang berbasis pada Gen Z yaitu konsentrasi terhadap sebuah isu pendek. Gen Z tidak bisa menjaga konsistensi isu itu menjadi panjang banget,” bebernya.

Dengan demikian ia berharap ketika sebuah isu menjadi kebijakan yang berdasarkan viral maka yang perlu dilakukan adalah menjaga dan mendorong agar perencanaannya menjadi jauh lebih baik. Sehingga 20-30 tahun ke depan agar lebih baik bagi generasi Z yang tetap akan dapat menikmati. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN