Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Beberapa waktu silam, kala ramai-ramai mencuat di beberapa kampus non partikelir di republik ini yang diduga harus berperkara hukum menyangkut uang sumbangan pungutan ataupun suap berebut kursi kampus. Praktik ini menjadi fenomena gunung es, karena tak menutup kemungkinan kampus lainnya juga melakukan aktivitas yang tidak kalah kelamnya.

Yang menjadi naif, misalnya adalah mengapa sama-sama kampus berpelat PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum), tapi beberapa kampus negeri justru negasi uang pangkal, yang konon berpotensi atas praktik korupsi, gratifikasi dan pungli. Sementara tak sedikit kampus yang memanfaatkan jalur mandiri sebagai lahan praktik kusut penarikan dana mahasiswa.

Salah satu kampus paling tua di negeri ini, justru menampilkan performa yang menggairahkan masyarakat yang ingin menembus bangku kuliah paska tergusur di jalur SNMPTN (kini SNBP) dan SBMPTN (sekarang SNBT). Bagaimana tidak insist, di sana nihil pungutan atau sumbangan yang namanya uang gedung, uang pangkal maupun sumbangan pendidikan lainnya. Luar biasa.

Kalau lolos mandiri, calon mahasiswa hanya dikenakan biaya uang kuliah tunggal (UKT). Jika kemudian disandingkan dengan PTN di Semarang dan Solo, sangat bertolak belakang sebab mereka masih saja menerapkan uang sumbangan awal masuk kuliah atau apapun namanya di jalur mandiri. Di Unair namannya uang kuliah awal (UKA), SPI (sumbangan pengembangan institusi) di Undip, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di Universitas Brawijaya (UB), dll.

Baca juga:  Aktualisasi Pancasila dan Visi Politik

Pertanyaannya kemudian, status sama, tapi perilakunya beda. Apa lain jumlah mahasiswanya, beda jumlah dosennya, ketidaksamaan fasilitas/saprasnya, dll, sehingga harus sampai merogoh kocek orangtua/wali mahasiswa untuk menggenapkan kepedihan ekonominya. Beruntunglah adik-adik yang lolos kuliah di 6 Jalur Mandiri PTN 2023 tanpa uang pangkal: UGM, UI, ITS, UT, UNSRI hingga UIN (kompas, 20/4/2023).

Gaya Hedon

Masih hangat dalam ingatan kita, Tahun 2008 mantan Rektor USU diduga korupsi Rp10,3 miliar. Tahun 2016 mantan Rektor Unair korupsi Rp85 miliar. Tahun 2022 mantan Rektor UIN Suska diduga korupsi jarigan internet kampus 2020-2021, dan pada tahun yang sama Rektor Universitas Lampung (Unila) diduga jual beli bangku penerimaan mahasiswa baru, menyusul tahun berikutnya Rektor Universitas Udayana (Unud) diduga korupsi uang pangkal mahasiswa baru seleksi jalur mandiri 2018 s/d 2023 (fraksi.pks.id, 5/4/2023). Yang disebut terakhir di atas, belakangan diovis bebas oleh Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar (Tempo, 25/2//2024). Aneka praktik rasuah di atas menjadi kenyataan pahit bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Ketika kita menengok kusutnya kampus-kampus di atas menjadi ironis. Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, praktik muram demikian masih saja berlangsung. Pertama, adanya ketidakpatuhan PTN terhadap kuota penerimaan mahasiswa khususnya jalur mandiri. Kedua, mahasiswa yang diterima pada jalur Mandiri tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh PTN (ranking/kriteria lain). Ketiga, praktik penentuan kelulusan sentralistik oleh seorang Rektor cenderung tidak akuntabel. Keempat, besarnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebagai penentu kelulusan.

Baca juga:  PPKM Darurat Nonton dari Rumah

Pendidikan sejatinya menjadi ruang untuk mencetak bibit unggul masa depan bangsa. Namun nyatanya ranah pendidikan termasuk salah satu sektor yang kerap menjadi lahan korupsi. Merujuk data yang dimuat Transparency International (TI) pada 2021, nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan, hampir dua per tiga negara yang disurvei memiliki skor di bawah 50, termasuk Indonesia. Saat ini Indonesia bercokol di posisi ke-96 dengan skor IPK 38. Rendahnya skor IPK Indonesia sudah sepatutnya menjadi refleksi, termasuk bagi para perguruan tinggi.

Sepertinya, proses-proses LHKPN, LHASN, penandatanganan pakta integritas, hingga penyematan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh lembaga yang berwenang, serasa senyap dalam balutan rompi orange yang dikenakan para terduga pelaku korupsi. Kadang, budaya dan gelar akademik moncer, tapi di ujung lainnya mereka juga tekun melakukan peyimpangan. Regulasi sampai hari ini rupanya belum cukup menyantuni mereka untuk mewakafkan dirinya menjadi aparatur Negara yang bersih.

Tak jarang gaya hidup hedon dipertontonkan pejabat atau pimpinan lembaga pendidikan tinggi dengan harta benda yang luxury. Rumah mewah tak cuma satu, mobil mewah tidak melulu satu, tapi mereka pun juga cakap membangun impresi “dermawan,” melalui yayasan atau lembaga sosial kemanusiaan yang disulap untuk sekadar menutup aksi-aksinya yang kelewatan.

Baca juga:  Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Refleksi Perwujudan Segara Kerthi

Dwitunggal

Lantas, mau dibawa kemana kaum muda, para mahasiswa akan berkiblat kepada senior, panutan dengan jaminan kualifikasi etika ataupun moral. Etik dan etos berjatuhan satu satu. Jika praktik buruk ini dibiarkan, cepat atau lambat akan mengantarkan pada lonceng kematian intelektual.

Direktur Pendidikan Unair, Sukardiman (repubika, 10/2/2022) menilai, dalam upaya pemberantasan korupsi di sebuah negara, perguruan tinggi dapat memiliki empat peranan hebat. Yakni pusat pengajaran, kampus bisa memberikan mata kuliah yang berisi nilai antikorupsi dan pusat pergerakan melalui pengembangan budaya akademik antikorupsi. Selain itu, kampus juga sebagai pusat riset, data, dan berbagai kajian antikorupsi sehingga mahasiswa bisa turut berpartisipasi dalam pergerakan antikorupsi. Kemudian, kampus pun bisa menjadi rumah bagi para ahli, sudah selayaknya memberikan kontribusi sesuai keilmuannya dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.

Tak kurang baiknya, kita membuka kembali kisah sepotong pisang goreng dan cerita sepatu bally dari sang Dwitunggal, Soekarno-Hatta. Sekurangnya dapat menggenapkan zakat ilmu sekaligus sikap mental utuh yang berkemampuan menahan diri untuk tidak menggasak “dudu duwekke.” Saran untuk selalu eling lan waspada dari Pujangga Besar Rangga Warsita masih cukup relevan di zaman ini dan merepair diri menjadi phobia korupsi, gratifikasi dan pungli.

Penulis, ASN Pemprov Jawa Tengah

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *