Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Pada dasarnya orang sudah tahu dan kenal dengan meditasi. Karena, meditasi sudah sering dipraktekkan dengan berbagai metode. Saat orang melakukan meditasi ataupun bermeditasi secara umum sebetulnya adalah pertama, mengarah kepada sesuatu atau tidak mengarah kepada sesuatu apapun juga dan kedua, konsentrasi.

Orang atau manusia terkendala oleh istilah meditasi karena berbagai pembatasan
yang dikenakan kepadanya. Inilah pangkal persoalan sehingga terjadi eksklusivitas dalam bermeditasi sekalipun. Eksklusivitas seringkali bergaul akrab dengan yang bernama kebenaran dan inilah juga titik pangkal berikutnya yang memunculkan persoalan terutama terkait dan terhubung langsung dengan klaim yang disebut
sebagai benar.

Oleh karena itu atas dasar kebenaran dan klaimnya, menjadikan seseorang
menjebakkan diri dalam fanatisme. Sebenarnya bukan atas dasar kebenaran melainkan dengan mengatasnamakan kebenaran itu sendiri adanya. Karena ada klaim kebenaran maka orang tidak sudi untuk berpaling ke arah kebenaran yang lainnya.

Ini kemudian menjadi problem lain lagi. Itulah menjadikan dunia semakin berupaya
untuk menjadikan apapun juga jika mungkin dihomogenisasi atau disamakan. Di sini problem muncul lagi karena disamakan atas dasar apa?

Baca juga:  Sulinggih Itu Bernilai ‘’Padma’’

Inilah kenyataan semu. Kenyataan semu tidak dapat dikatakan sebagai kenyataan. Inilah poin penting dan terpenting pembahasan meditasi dalam tulisan ini. Meditasi dijadikan sebagai pintu masuk dan juga pintu keluar untuk membebaskan diri dari fanatisme.

Dalam konteks ini ada yang sengaja mengartikan fanatisme sebagai kesetiaan. Inilah kesalahan utama ketika seseorang sebenarnya sudah tahu arti fanatik namun menyalahgunakan sebagai cara yang benar untuk menunjuk orang yang tidak sejalan dengan ideologinya itu.

Keinginan adalah kepentingan yang terselubung. Saya sebagai penulis di sini menekankan bahwa terselubung ditujukan kepada keadaan yang mendesak untuk dipenuhi berdasarkan kekuasaan. Kekuasaan dimaknai dengan dasar pertama, keadaan dan kondisi untuk mampu memerintah atau menginstruksikan agar keinginan dapat tercapai dengan dasar kekuasaan.

Kedua, mendukung terpenuhinya keinginan atas dasar tidak semata kaki kekuasaan melainkan sampai kepada lutut bahkan ubun-ubun jika mungkin dicapai kenapa tidak. Inilah keduanya yang relevan saat ini dipergunakan sebagai sebuah kemampuan berkonsentrasi. Akan tetapi, relevansiya sebatas keduniawian yang sepertinya dijadikan sebagai ajang meditasi terselubung untuk menunjukkan bahwa itu semua dari kekuasaan adalah maha penting.

Baca juga:  Nurhayati, Perempuan Antikorupsi

Ini pula yang menimpa keagamaan dan spiritualitas semu dalam kenyataan. Ini pula yang menimpa dimensi politik kekuasaan belaka. Pun pula menimpa perekonomian dengan dasar melulu kepada persaingan untuk semata-mata keuntungan.

Akan tetapi pula jika dirunut dengan dasar perjalanan hidup kebangsaan dan nasionalisme keindonesiaan, dapatlah kiranya dijadikan sebagai bahan pelajaran maha penting pula. Maha di dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai kuasa. Kuasa atas kekuasaan terhadap realitas. Untuk mampu menentukan dan memutuskan ke mana arah kemasyarakatan dapat berkonsentrasi sesungguhnya mampu dilakukan dengan mudahtanpa halangan akan tetapi halangan justru muncul dari keagamaan, spiritualitas, politik bahkan ekonomi. Inilah sebagai fakta baru yang
bukan fakta.

Artinya bukan fakta yang sebenarnya melainkan penuh dengan settingan. Oleh
karena itu dalam tulisan hendak ditujukan kepada khalayak agar terhindar dari fakta semu. Fakta semu berarti seolah-olah itu fakta dengan dasar sebagai sebuah kenyaan namun tidak sebenarnya demikian karena akal-akalan.

Baca juga:  Bentuk Tata Kenegaraan

Akal-akalan yang tampak cerdas namun inilah yang sebenarnya disebut kebodohan
permanen yang dilihat sebagai pencerahan bagi yang membuatnya. Sesuatu yang menjadi akal-akalan akan menjadi sebuah kemunculan akal-akalan baru atau lain bagi yang diakali sehingga keberlanjutannya adalah rasionalitas semu. Rasionalitas semu inilah yang terus dikemas dalam tataran perpolitikan untuk dijadikan sebagai saran meditasi atau dengan perkataan lain agar masyarakat terfokus dengan itu.

Oleh karenanya meditasi dijadikan sebagai salah satu poin utama untuk memengaruhi jalan kejiwaan dan pikiran. Kejiwaan dan pikiran di antara mind adalah terfokus kepada kenyataan semu tadi. Didukung oleh rasionalitas semu. Selanjutnya dapat ditebak bahwa fokus masyarakat pun mengarah kepada kesemuan belaka. Meditasi masyarakat dalam arena kekuasaan adalah periferi dan terpinggirkan (marjinal).

Inilah yang penulis sebut dengan keadaan yang terkondisikan untuk semu. Selanjutnya terserah kepada masyarakat sendiri setelah kontestasi berakhir.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN