John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam Mabes Polri yang terlibat dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir N Yosua Hutabarat, telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun kemudian permohonan kasasinya diterima oleh Mahkamah Agung dan hukuman matinya diubah menjadi penjara seumur hidup. Masyarakat dibuat terperangah, ternyata hukuman untuk kejahatan sebesar itu bisa diubah.

Spekulasi mengenai permainan uang dan amplop pun berseliweran di seputar kasus ini. Benarkah uang itu berkuasa dan bagaimana manusia dapat mengendalikannya? “Money is not everything, but without money everything is nothing” demikian bunyi sebuah ungkapan.

Memang uang bukan segalanya, namun tanpa uang semuanya tak berarti. Orang sering mengidentikkan uang dengan kemakmuran atau kesejahteraan. Orang kaya yang memiliki banyak uang, tak sekadar dapat memenuhi segala kebutuhan seperti kebanyakan orang, tetapi juga bisa membiayai keinginan-keinginan mereka.

Dengan uang, mereka dapat mengonsumsi lebih banyak, membeli barang-barang mahal, mengunjungi tempat-tempat eksotik, bepergian ke luar negeri, memiliki rumah besar, kendaraan mewah, dll. Bukan mustahil, dengan uang, seorang terpidana mati dapat mempermudah segala urusan, termasuk meringankan hukumannya.

Bukti ada di mana-mana, bahwa orang kaya memiliki kebebasan lebih besar dari pada orang miskin. Bahkan banyak kajian yang menunjukkan, kemiskinan justru menjadi penyebab utama munculnya berbagai jenis kejahatan. Maka, menjadi kaya itu lebih menarik dari pada menjadi miskin dan hidup pas-pasan. Jangan heran, kalau beragam buku dan berbagai seminar yang menyajikan strategi dan kiat menjadi kaya, laku di pasaran.

Kita memang perlu angkat topi kepada orang yang meraih kekayaan dan kesuksesannya melalui cara-cara yang halal dan etis. Tak sedikit dari mereka adalah para kampiun yang berhasil mengembangkan bakat melalui kerja keras dan kegigihan dalam mengatasi berbagai persoalan sebelum menjadi orang sukses dengan banyak uang. Sebut saja Alm. Bob Sadino yang sebagai contohnya.

Baca juga:  Maling Uang Pamannya Ratusan Juta, Pelajar Beli HP hingga Anjing

Namun banyak pula, orang yang meraih kekayaan melalui cara-cara yang tidak patut. Mereka membangun kerajaan bisnis melalui cara-cara kotor yang merugikan orang lain. Mereka tak segan menindas, menipu, memeras, mengintimidasi, bahkan menghilangkan nyawa orang lain, demi mencapai puncak keberhasilan.

Tangan mereka berlumuran darah. Bila perlu, semua penegak hukum ingin mereka sogok untuk melempengkan jalan menuju ambisi merek. Kelompok ini cenderung menganut prinsip “the goal justifies the means” alias tujuan menghalalkan segala cara.

Mereka termasuk golongan kaum pragmatis yang beranggapan, apa pun cara yang ditempuh, menjadi kaya itu selalu lebih baik ketimbang hidup miskin dan melarat. Dalam pengertian tertentu mereka benar, karena dalam realitas kehidupan, kalangan berpenghasilan tinggi menjadi segmen konsumen yang paling berdaya di pasar.

Mereka cenderung mengonsumsi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangaan dan papan, tapi juga membeli barang-barang mewah, berwisata keluar negeri, dan mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama. Sebuah kajian memperkirakan orang kaya baru di Indonesia akan meningkat menjadi 65 persen selama 5 tahun mendatang.

Dengan skenario Pendapatan Domestik Bruto sekitar 5-6 persen pertahun, jumlah masyarakat komsumtif di Indonesia akan meningkat dari 80 juta di tahun 2020 menjadi 135 juta di 2030. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah crazy rich, sultan-sultan baru yang suka pamer kekayaan dan kemewahan.

Teori konsumsi tanda ari Bandrilard mengatakan bahwa, perilaku konsumtif dewasa ini tidak lagi berdasarkan manfaat atau kegunaan dari sebuah komoditas, melainkan simbol-simbol yang melekat pada barang atau jasa itu. Maka, orang membeli jam tangan rolex senilai miliaran rupiah bukan sekadar sebagai penanda waktu, melainkan lebih sebagai petunjuk status sosial.

Baca juga:  Tak Diberi Uang, Pemalak Main Keroyok

Mobil Rubicorn yang dikendarai Mario Dandy, bukan sekedar alat transportasi, melainkan sebagai petunjuk status sosial keluarganya. Berbagai aplikasi market place di handphone memberi kesempatan bagi para calon konsumen untuk lihat-lihat (window shopping) produk. Berbagai macam promo seperti: flash sale, kejar diskon, tanggal kembar, cash back, dan yang paling parah, gratis ongkos, terus menggedor bawah sadar masyarakat untuk membeli.

Memiliki banyak uang itu perlu, tapi kita tidak perlu merayakan konsumerisme, yaitu gaya hidup yang selalu ingin membeli dan menumpuk barang-barang untuk sekedar pamer dan dianggap sebagai orang kaya dan terkenal. Manusia modern sudah terperangkap dalam ironi yang secara tepat diungkapkan Will Rogers. ‘’Too many people spend money they don’t have, to buy things they don’t want, to impress people they don’t like”. Terlalu banyak orang menghabiskan uang yang tidak mereka miliki, untuk membeli hal-hal yang tidak mereka inginkan, dalam rangka mengesankan orang-orang yang tidak mereka sukai.

 

Kesadaran Baru

Mahadma Gandhi pernah berkata, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tak mampu memenuhi keserakahan setiap manusia”. Banyak pengamat telah mengingatkan bahwa pola konsumsi masyarakat modern telah menempatkan bumi dalam kondisi darurat. Orang lupa bahwa, semakin banyak barang yang terkumpul, akan semakin tinggi pula kecemburuan sosial. Tingkat kepuasaan dan kebanggaan terhadap barang-barang yang pada awalnya tinggi pun, lama kelamaan berkurang bahkan hilang sama sekali. Padahal, perolehan barang-barang itu sudah melalui perjalanan panjang, mulai dari mengeksploitasi bumi, hingga proses produksi yang menghasilkan polusi, limbah dan sampah yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Baca juga:  Motor Brong Bikin Brangasan

Di mata suku Indian Appache orang kaya adalah orang yang berhasil mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya agar dapat membagikannya  kepada sebanyak mungkin anggota sukunya. Pola hidup sederhana merupakan pilihan rasional di tengah budaya konsumerisme, manakala bumi dan segala sumber dayanya itu terbatas. Pilihan hidup sederhana perlu kita lakukan bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuki keselamatan kita bersama dan keturunan kita. Dalam hemat penulis, pola hidup sederhana dapat kita terapkan berdasarkan empat langkah berikut: Pertama, menilai kembali. Artinya, kita perlu mengevaluasi, apakah investasi waktu, tenaga, pikiran, keuangan yang kita lakukan selama ini memang untuk mendapatkan barang yang benar-benar penting? Apakah kita masih bisa hidup layak tanpa barang-barang itu, atau sebaliknya?

Kedua, berhenti meniru orang lain. Keputusan untuk menganut pola hidup sederhana artinya kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Ketiga, batasi pesan negatif. Yaitu pesan-pesan yang dapat mengalihkan perhatian dari niat kita untuk mulai menghayati pola hidup sederhana. Keempat, pesan positif. Maksudnya pesan-pesan yang menguatkan kita untuk tetap pada jalur pola hidup sederhana. Menjalani pola hidup sederhana di tengah budaya konsumerisme ini, sama dengan hidup melawan arus. Karena itu kita butuh dukungan dari tokoh-tokoh yang sudah berpengalaman dalam hal itu.

 

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

 

 

BAGIKAN