Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kebudayaan sebagai sebuah kenyataan lama dan baru. Kenyataan itu dapat ditelusuri dengan jalan pertama, kebudayaan primitif dan kedua, kebudayaan kekinian. Namun, tidak cukup di sana.

Pada konstelasi ini dapat dijelaskan bahwa tidak mungkin suatu bentuk dan pola kebudayaan bahkan agama sekalipun tidak terpengaruh dari pola-pola kehidupan yang diinginkan oleh diri manusia.

Pada kesempatan ini diuji tesis di atas bagaimana sebenarnya pola-pola kehidupan yang diinginkan oleh diri manusialah yang sebetulnya punya andil atas kebudayaan. Untuk itu perkenankan dalam kesempatan ini pula didahului dengan sebuah pernyataan filosofis bahwa ketika keadaan membaik maka tidak ada suatu complain melainkan suatu bentuk dan pola kepuasan tertentu.

Pada pernyataan di atas tidak serta merta sudah benar dengan sendirinya. Oleh karena itulah diuji sebagai berikut pertama, kebudayaan adalah sebuah scenario. Kedua, kebudayaan adalah sebuah keuntungan. Ketiga, kebudayaan adalah sebuah keniscayan untuk hidup lebih baik. Keempat, ketiga poin sebelumnya mesti diuji.

Keempatnya di atas sebagai sebuah kesatuan utuh untuk menilai bagaimana sebetulnya kebudayaan dapat bekerja bagi kehidupan manusia. Pada dasarnya dapat diterima adanya suatu kebudayaan karena kebudayaan tersebut mampu memberikan suatu bentuk dan pola penjelasan tersendiri atas hidup yang lebih baik.

Baca juga:  “Hospitality” di Jalur Darat

Pada keempat itu pula dapat ditelusuri sebagai berikut pertama, kebudayaan tidak dapat tidak mesti ada dan kedua, keberadaannya tidak mungkin terabaikan ataupun terabaikan. Kebudayaan menjadi benar-benar ditentukan oleh keberadaan manusia yang mengabaikan ataupun yang tidak mengabaikannya.

Akan tetapi, tidak ada yang mampu mengetahui secara pasti dan mutlak akar sebenarnya dari kebudayaan itu termasuk dari kebudayaan suatu agama tertentu kecuali pertama, kebudayaan dimengerti secara kritis konstruktif. Kedua, kebudayaan secara kritis kontruktif untuk menumbuhkan dan memelihara kesadaran.

Ketiga, penumbuhan dan pemeliharaan kesadaran dalam kerangka ke masa depan. Keempat, masa lalu dan masa kini sebagai bagian pertimbangan kritis konstruktif. Kelima, tujuan berkebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dengan tujuan berkehidupan.

Kebudayaan kritis konstruktif dapat dibedakan dengan kebudayaan biasa. Ini berarti bahwa kebudayaan kritis konstruktif didasari oleh sebuah filsafat kritis konstruktif secara metodologis. Inilah yang kemudian menciptakan bagaimana sebenarnya kebudayaan dapat terus berkembang tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sendiri.

Kebudayaan tidak berdiri sendiri itu sudah pasti. Akan tetapi juga kebudayaan tidak dapat disendirikan itu secara eksklusif. Seluruh kehidupan dalam diri adalah kebudayaan yang tersimpan dalam konstelasi yang berbeda. Inilah yang sering menjadi problem dalam berkebudayaan sehingga tidak jarang kebudayaan dapat dinistakan ataupun dipuji setinggi langit.

Baca juga:  Memaknai Hari Cinta Kasih

Pada dasarnya ditemukan bahwa pertama, kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Akan tetapi kehidupan sekarang sudah bergeser kepada ekonomi dan bahkan pula politik secara publik.

Seterusnya kebudayaan pun mesti disesuaikan dengan arus perkembangan tersebut sehingga mampu menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk mendukung perekonomian bahkan pula perpolitikan yang lebih sehat. Kedua, menunjukkan bahwa kebudayaan bukan bagian yang menghabiskan potensi ekonomi dan rentan untuk dipolitisasikan melainkan bagaimana kebudayaan memberikan pencerahan agar berkemajuan secara konstruktif atas ekonomi dan pula politik bahkan berbagai bidang lain termasuk kesehatan.

Namun, inti dari tulisan ini adalah pertama, menunjukkan bahwa kesadaran dalam berkebudayaan tidak menjadikan pikiran itu buta dalam memperhatikan kebenaran di dalam kebudayaan itu sendiri dan kedua, menampakkan bagaimana peran kebudayaan telah menciptakan adanya keindahan, bahkan kebahagiaan hidup yang saling memberikan pengertian tentang arti kehidupan sehingga menganggap semua itu bersaudara secara konstruktif dan inilah poin penting dalam pembicaraan di tulisan ini.

Baca juga:  Tumpek Landep, "Otonan Idep" Bukan Motor

Semua bersaudara mengingatkan kebudayaan mampu untuk menciptakan celah yang sulit dalam agama. Apalagi agama yang mengutamakan istilah seiman di dalam berinteraksi yang membatasi secara ideologis atas persaudaraan seluruh umat manusia tanpa memandang agamanya.

Inilah yang kemudian menjadikan bagaimana Bali begitu mudah dimasuki oleh berbagai unsur dari seluruh dunia karena pandangan kebudayaan Bali yang tidak menunjuk kepada perbedaan melainkan kepada Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana sesungguhnya merupakan bekal kritis konstruktif dalam berkebudayaan dikarenakan melihat secara konstruktif atas bangun hubungan antara manusia, Tuhan, dan bahkan semesta. Dalam konstelasi inilah perlu pembelajaran yang intensif untuk menciptakan peluang baru dalam berkebudayaan yang semakin intensif dalam mengembangkan kemanusiaan dan bahkan ketuhanan serta semesta secara berkolaborasi satu sama lain tanpa merendahkan.

Untuk itu diperlukan pengertian yang mendalam dan mendasar atas Tri Hita Karana agar mampu memberikan kontribusi yang lebih luas termasuk dalam bidang ekonomi bahkan politik maupun bidang yang lainnya itu.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN