Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Groundbreaking shortcut Singaraja-Mengwitani titik 7D dan 7E pada 29 Agustus 2023 oleh Gubernur Bali Wayan
Koster menjadi awal dari ujung akhir upaya memperlancar arus lalu lintas Denpasar-Singaraja; mengingat pada titik 9 dan 10 akan dilaksanakan pada
tahun 2024-2025 dan titik 11 dan 12 pada tahun 2026. Tuntaslah shortcut Singaraja-Mengwitani.

Jalan nasional Mengwitani – Batas Kota Singaraja yang
pembangunan jalan pintas (shortcut) nya diresmikan Presiden Joko Widodo pada Kamis, 2/2/2023, merupakan jalur jalan utama yang menghubungkan Bali Selatan dengan Bali Utara. Jalur ini penting untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pengembangan kawasan Bali Utara.

Kesulitan akses dari kawasan Bali selatan (sebagai gerbang utama Pulau Bali saat ini) menuju kawasan Bali utara, bagai semakin meminggirkan Bali utara. Guna mengembalikan kesejahteraan kawasan Bali utara,
diperlukan kemudahan akses dari Bali utara menuju dunia ekonomi global maupun lokal Bali.

Industri pariwisata Bali yang berkembang pesat hari ini tidak bisa dimungkiri dari sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali pada dasawarsa 20-an. Saat itu wisatawan masuk melalui pintu utama
Pelabuhan Buleleng. Dari sinilah para wisatawan mulai melakukan perjalanan ke seluruh pelosok Bali.

Baca juga:  Menunggu Kebijakan Menparekraf untuk Pariwisata

Ketika Hindia Belanda menguasai daerah Bali pada tahun 1846, mereka menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk Pelabuhan Buleleng dan jalan
utama baru menuju pelabuhan.

Jalan utama ini bahkan telah mengubah tata ruang tradisional Buleleng. Aksis kota diubah sehingga tidak lagi berpusat pada catus patha (pempatan agung). Dari kawasan Bali utara inilah sebenarnya proses pembangunan Bali modern berawal. Pelabuhan Buleleng pada masa Hindia Belanda hingga masa awal kemerdekaan Indonesia merupakan pintu gerbang utama Pulau Bali.

Pada saat itu semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan Singaraja. Sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali yang diekspor ke Malaka
dan Hongkong melalui pelabuhan ini. Kawasan Bali utara saat itu menjadi wilayah yang banyak memiliki kawasan perkebunan, dimana jejak kejayaannya masih dapat kita jumpai saat ini. Situasi berubah sejak Ibukota Provinsi Bali dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar pada tahun 1960 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960.

Baca juga:  Sah, Kurikulum Merdeka Berlaku Nasional

Kawasan Bali utara secara berangsur seakan ditinggalkan dan diabaikan. Padahal gemerlap ekonomi pariwisata Bali saat ini, adalah buah perjalanan panjang dari Singaraja.

Kenyataan bahwa saat ini kawasan Bali utara seakan sebagai kawasan yang dilupakan, memang terasa dengan masifnya pembangunan di kawasan Bali selatan. Kondisi ini terasa sejak Kota Denpasar dijadikan ibu kota Provinsi Bali dan pintu gerbang utama
Pulau Bali lebih banyak melalui bandar udara I Gusti Ngurah Rai serta pelabuhan laut Benoa.

Situasi ini masih ditimpali dengan adanya pola otonomi daerah yang berada di tingkat kabupaten/kota. Akibatnya setiap kabupaten/kota memiliki kemandirian untuk mengembangkan wilayah masing-masing sesuai kemampauan aset yang dimilikinya. Sehingga mau tidak mau kunci keseimbangan ekonomi Bali berada di tangan pemerintah Provinsi Bali.

Baca juga:  Pengembangan Karakter Pancasila Menuju Indonesia Maju

Kehadiran shortcut akan mengurangi tingkat kecuraman jalan nasional Mengwitani – Batas Kota Singaraja, dari sebelumnya rata-rata 27 % menjadi maksimal 6 %. Waktu tempuh dari Buleleng ke Denpasar akan lebih
cepat, serta nyaman dan aman. Waktu tempuh yang semula mencapai 2 jam 30 menit akan berkurang menjadi sekitar 1 jam 15 menit.

Konektifitas antar wilayah di Bali akan membuka peluang terjadinya pemerataan di semua lini kehidupan masyarakat, utamanya terciptanya keseimbangan tingkat kesejahteraan krama Bali di sudut pelosok Bali. Sehingga diharapkan tidak ada lagi wilayah di Pulau
Bali ini yang menjadi daerah terpencil yang bagai tidak memiliki akses dengan dunia luar.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *