Setyo Pamuji. (BP/Istimewa)

Oleh Setyo Pamuji

Wacana adanya badai krisis kini kembali mengemuka. Seakan masa lalu, saat ini, dan masa depan begitu gelap gulita, tentu ini masalah yang urgen diselesaikan. Ibarat sebuah pertandingan di ring tinju, sektor ekonomi baru akan bangkit dari kejatuhan oleh pukulan pandemi yang begitu dhasyat, kini kembali mendapat pukulan telak dari wacana badai krisis 2023, meskipun pukulan itu belum sampai pada titik nadir yang dapat meng-k.o atau terjadinya resesi ekonomi Indonesia, akan tetapi serangan psikisnya sudah masuk menghantui semua kalangan masyarakat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang kategori aman dari resesi, data ini didukung oleh IMF dengan memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3% tahun ini, dan 5% pada tahun 2023. Akan tetapi, secara eksternal, pengaruh negara-negara besar seperti Amerika, Eropa,
China dan Ingris yang diprediksi akan mengalami krisis besar pada 2023, tentunya akan juga mempengaruhi laju ekonomi Indonesia.

Bertolak belakang dari pernyataan aman di atas, meskipun tidak terjadi resesi, akan tetapi dampak dari resesi negara-negara di atas juga berimbas langsung dengan ekonomi indonesia. Kenaikan harga barang adalah fenomena nyata saat ini, inflasi semakin tinggi. Ini akan mendorong turunnya daya beli masyarakat.

Baca juga:  IMF Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Atas Rata-rata Dunia

Sektor komoditas energi dan pangan jadi permasalahan
awal yang mendapat kenaikan harga ini. Di sisi lain, perubahan kebijakan moneter negara maju seperti Amerika Serikat akan memaksa suku bunga acuan Bank Sentral Reserve (The Fed) naik. Ini tentu akan berpengaruh pada sektor perbankan di Indonesia.

Hal tersebut tentu menjadi ironi tersendiri. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa produksi beras pada tahun 2022 ini mengalami kenaikan 2,29% dibanding produksi beras pada tahun 2021. Pada tahun ini produksi beras untuk konsumsi diperkirakan sekitar 32,07 juta ton, sedangkan tahun 2021 hanya 31,36 juta ton.

Data ini didukung dengan adanya peningkatan luas panen padi tahun ini diperkirakan 10,61 juta hektare, yang sebelumnya pada tahun lalu hanya sebesar 10,41 juta hektare. Sehingga, adanya import beras sungguh membuat miris ibu pertiwi yang merupakan lumbung padi. Kalau berpikir lebih kritis, akan terdapat sebuah benang merah antara popularitas wacana badai krisis 2023 dengan realisasi import beras pada akhir-akhir ini.

Berita-berita tentang gelap gulitanya ekonomi 2023, yang diwacanakan paling parah menghantam sektor pangan, berawal atau popular di kalangan pemerintah. Ntah disengaja atau tidak, ini yang membuka keran import, untuk memenuhi cadangan pangan nasional.

Baca juga:  Bali Perlu Miliki Manajemen Risiko

Padahal impor bukan satu-satunya solusi jika memang keadaannya sangat genting. Tentu ini menyisakan tanda tanya besar.

Jika berpikir secara induktif, berkaca pula pada pandemi Covid-19, keadaan masyarakat justru chaos bukan karena Covid-19 itu sendiri, akan tetapi karena beritanya
yang menyebar tak terkendali. Masyarakat panik, yang scara psikologis akan berimbas pada menurunnya imun kesehatan masyarakat, yang justru membuat lebih rentan terhadap penyakit atau virus masuk karena kekebalan tubuh menurun (panic syndrome).

Entah itu sengaja atau tidak, lagi-lagi hal tersebut itu menyisakan tanda tanya besar. Intinya, masyarakat harus mampu berpikir apa yang ada di belakang layar atau di bawah permukaan. Apa-apa yang terjadi di depan layar atau di permukaan belum tentu benar, terlebih di era sosial media seperti ini.

Fundamental Strategi

Akan tetapi, kewaspadaan menghadapi badai
krisis 2023 juga patut dipersiapkan, asal tidak
berlebihan. Bukankah masyarakat sudah terlatih
dengan bertahun-tahun menghadapi pandemi
hingga lock down?

Jadi sebenarnya krisis itu sudah dirasakan oleh semua masyarakat. Masyarakat Indonesia yakin mampu bangkit lagi dari berbagai badai.

Baca juga:  Pajak, Pemutus Lingkaran Tak Berujung

Menurut H. Heppy Trenggono, Pengusaha dan Penulis buku 9 Pertanyaan Fundamental, krisis terbagi menjadi 2, yakni krisis eksternal dan internal. Krisis eksternal ini yang diluar kontrol manusia, seperti kurs naik, harga saham jatuh, harga bahan pokok melonjak dan lain sebagainya.

Manusia tidak bisa mengontrolnya tapi bisa diantisipasi. Kedua adalah krisis internal. Krisis ini yang sangat berbahaya dalam kelanjutan ekonomi masyarakat dan berbangsa. Krisis ini ditandai dengan adanya kecemasan, rasa takut, ragu-ragu, ketidakpercayaan diri. Krisis ini membuat self-down yang akan membawa seseorang jatuh pada jurang putus asa (hopeless).

Keputus-asaan ini yang sebenarnya menjatuhkan diri atau bangsa. Kalau saja para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia memiliki krisis internal ini, tentu Indonesia belum merdeka sampai saat ini.

Secara keseluruhan, dalam era digitalisasi yang sudah pasti banjir informasi, maka semua elemen masyarakat, baik rakyat maupun pemerintahan, harus mampu mengendapkan berbagai input yang masuk dalam diri.

Penulis, Master of Business Administration, anggota Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) dan Founder PT. Nutricorn Persada

BAGIKAN