Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kebudayaan mesti ditekuni dengan semangat yang menyala namun tidak membakar oleh karena itu setiap saat para pelaku kebudayaan yang berwenang mesti selalu kritis. Pada dasarnya yang terang bahwa pertama, kebudayaan mesti dimengerti untuk kehidupan bukan sebaliknya. Kedua, jadi kebudayaan itupun berproses untuk mencapai titik kemajuannya yang optimal agar mampu memberikan jawaban yang fleksibel atas keberadaan diri manusia beserta lingkungan dan semesta tentunya.

Keduanya merupakan pintu masuk yang penting untuk mengungkap seberapa besar sebetulnya kebudayaan itu memberikan pengaruh atas kesejahteraan diri manusia baik individu dan sosial. Kemajuan kehidupan manusia tidak berarti jika tidak memberikan kemajuan bagi lingkungan dan semesta. Inilah salah satu kunci utama dalam melanjutkan apakah sebuah kebudayaan itu merupakan kebudayaan yang patut dan layak untuk diterapkan. Makna kemajuan itupun menjadi dipertanyakan pula.

Ketika kedua itu patut diuji untuk setiap kebudayaan agar kebudayaan itu menjadi sesuatu yang dipelajari selain dilaksanakan pun sebaliknya dilaksanakan sembari dipelajari baik langsung ataupun tidak secara langsung sehingga mencegah terjadinya fanatisme. Fanatisme apapun termasuk agama dan dalam konteks ini kebudayaan tidak patut terjadi jika kritis. Namun, kritis pun juga perlu dimengerti dan disadari dengan kritis sehingga tidak fanatik atas kritis itu sendiri apalagi tanpa dasar yang kokoh.

Baca juga:  "Pertempuran" Tradisional dan Modernitas di Bali

Kekokohan dasar ini merupakan salah satu akar kebudayaan. Akar kebudayaan inilah yang dibahas dalam tulisan untuk ditemukan kembali dalam kesejahteraan. Berkesejahteraan adalah pertama, kepatutan untuk hidup yang laya. Kedua, kelayakan untuk memperoleh penghidupan. Ketiga, penghidupan dengan dasar kenyataan. Keempat, kenyataan yang dibangun secara berkelanjutan. Kelima, pembangunan berkelanjutan dengan dasar kemajuan rakyat. Ini merupakan parameter standar umum dalam mengetahui akar kebudayaan di dalam konteks berkesejahteraan.

Konteks berkesejahteraan bukan asumsi melainkan sebuah fakta. Inilah yang mestinya dijadikan sebagai rujukan utama. Rujukan utama untuk mengetahui dan mengerti untuk selanjutnya dijadikan sebagai kesadaran dalam bertindak. Bertindak bagi pengambilan keputusan. Keputusan untuk tidak menjauhkan masyarakat dari akar kebudayaannya yang semakin menuntun masyarakat tidak mengenal dirinya sendiri di tengah upaya mencapai kesejahteraan itu sendiri. Oleh karena itu metode yang penting diungkapkan dalam konstelasi ini adalah pertama, meninjau kebudayaan. Kedua, menunjukkan kesejahteraan. Ketiga, menunjukkan kembali bagaimana kebudayaan ditemukan dalam berkesejahteraan.

Atas dasar itu dapat diperkenalkan bagaimana sebetulnya kebudayaan itu dalam berkesejahteraan. Adapun kebudayaan dalam berkesejahteraan tidak dapat sekedar dalam imajinasi. Akan tetapi dalam konstelasi kebudayaan yang tidak saja riil melainkan terbukti secara ilmiah terpraktikkan dalam berkesejahteraan. Adapun keilmiahannya terletak dalam pemeliharaan kebudayaan yang berlangsung secara turun temurun dengan dasar keterlibatan perekonomian didalamnya. Ini sebagai penerus dalam karakter kesejahteraan itu sendiri yang dijadikan sebagai penuntun untuk mengerahkan kemampuan dalam berkesejahteraan secara berkelanjutan.

Baca juga:  Ekonomi Mengendurkan Krisis

Pada titik ini dapat dilihat bahwa berkesejahteraan dalam kehidupan diteruskan dengan adanya nilai yaitu kebudayaan sebagai nilai. Kebudayaan yang dijadikan sebagai pintu keluar dari kesulitan untuk bergerak. Seterusnya pergerakan hidupnya itu menjadikan perekonomian dapat berputar secara simultan dengan nilai. Dalam konstelasi inilah kebudayaan mulai dapat ditemukan lebih berkelanjutan dalam berkesejahteraan dengan bukti pertama, ke depan adanya kebudayaan dalam berkesejahteraan terbukti dengan sendirinya. Kedua, terbukti dengan sendirinya karena tidak mungkin orang berkesejahteraan tanpa nilai.

Ketiga, nilai ada salah satunya dalam kebudaayaan. Keempat, nilai dalam kebudayaan menggerakkan pelaku berkesejahteraan itu sendiri. Bukti ini tampak sumir akan tetapi dibuktikan lebih dalam lagi dengan adanya kebenaran fakta bahwa ketika orang berjalan dalam roda berkesejahteraan maka yang terjadi adalah kekuatan. Tanpa itu tidak ada jalan yang dapat dilalui karena berkesejahteraan itu memerlukan kemampuan dalam kekuatan dan ini menjadikan ketika kekuatan itu ditunjukkan sebenarnya secara implisit ada kemampuan didalamnya sekalipun belum eksplisit ditunjukkan semuanya.

Baca juga:  Pesan Universal di Balik Penutup Kepala

Oleh karena itu, dapat diketahui lebih dalam lagi bahwa berkesejahteraan mesti ditampilkan dalam keadaan yang apa adanya sehingga tampak jelas apakah ada eksploitasi ataukah tidak. Inilah poin penting dalam tulisan ini. Yaitu pertama, ekploitasi tidak terjadi karena tidak ada yang dieksploitasikan. Kedua, ketika tidak ada yang dieksploitasi inilah persoalan muncul. Ketiga, persoalan muncul ketika ditemukan adanya potensi yang dieksploitasikan. Potensi itulah kebudayaan.

Namun, ukuran potensi sebagai kebudayaan dapat pilah sebagai berikut pertama, jika kesejahteraan mengandung kebiasaan yang berkualitas dan kedua, kebiasaan yang berkualitas tersebut dapat diukur dengan jalan menunjukkan bahwa potensi tersebut sekiranya menjamin keberlangsungan tradisi yang konstruktif. Tradisi yang konstruktif menentukan dan memutuskan bahwa pertama, kesejahteraan dengan dasar kebudayaan dan kedua, kebudayaan yang menyejahterakan.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *