Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Krisis iklim dapat menjadi salah satu pendorong migrasi. Di masa depan, kemungkinan akan semakin banyak orang meninggalkan wilayahnya dan mencari perlindungan ke wilayah lain sebagai buntut dari bencana yang terkait krisis iklim.

Sebagian mencari perlindungan di dalam negeri mereka sendiri, adapun sebagian lainnya terpaksa melintasi batas negara mereka dan mencari perlindungan ke negara lain. Merujuk laporan bertajuk Groundswell: Acting on Internal Climate Migration [2019], pada tahun 2050 mendatang, diperkirakan akan ada sekitar 216 juta orang di enam wilayah dunia dipaksa untuk berpindah tempat tinggal secara internal di dalam negara mereka sendiri karena efek sejumlah bencana terkait krisis iklim.

Berdasarkan wilayah, di tahun yang sama, sekitar 86 juta orang diperkirakan akan menjadi pengungsi di kawasan sub-Sahara Afrika, 49 juta di Asia Timur dan Pasifik, 40 juta di Asia Selatan, 19 juta di Afrika Utara, 17 juta di Amerika Latin, dan 5 juta di Eropa Timur dan Asia Tengah. Sementara itu, menurut laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC], yang dirilis tahun 2022 lalu, sekitar 3,3 miliar hingga 3,6 miliar orang tinggal di negara-negara dengan kerentanan yang tinggi terhadap krisis iklim. Di saat yang sama, pola perubahan cuaca membuat bagian-bagian tertentu dunia kian tidak layak untuk dihuni.

Baca juga:  Memalukan, Masker "Hilang" dari Pasaran

Dalam banyak kasus, masyarakat yang terkena dampak krisis iklim harus menanggung musim kemarau panjang atau banjir parah, membuat persediaan pangan dan air bersih semakin minim dan tidak dapat diandalkan. Tak diragukan, krisis iklim membawa kerugian yang sangat besar bagi manusia, baik secara ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Efek merugikan dari krisis iklim juga menciptakan serangkaian dampak hak asasi manusia [HAM], khususnya yang terkait persoalan status migrasi. Lantas, apa kira-kira solusi untuk persoalan ini?

Mendorong Pergerakan Manusia

Fakta saat ini menunjukkan kepada kita bahwa iklim, degradasi lingkungan, dan bencana semakin saling berinteraksi dan mendorong pergerakan manusia. Menurut Cities Climate Leadership Group [CCLG],  sebagian besar migrasi iklim terjadi di dalam lingkup domestik, dengan pergerakan di kawasan urban bakal mendominasi. Pasalnya, hampir 68 persen penduduk Bumi pada tahun 2050 nanti mendiami kawasan perkotaan — dan jumlah tersebut dipastikan akan terus meningkat.

Sejauh ini, penyebab terbesar migrasi iklim yaitu badai ekstrem, banjir, kekeringan, panas ekstrem, serta rusaknya mata pencaharian, dan rusaknya infrastruktur penting. Dengan kenyataan tersebut, kota-kota kita tentu saja perlu memiliki perencanaan yang jelas dan matang untuk membangun resiliensi terkait fenomena migrasi iklim. Berdasarkan kajian CCLG, agar mampu membangun resiliensi migrasi iklim, terdapat sekurangnya tujuh aspek yang perlu menjadi perhatian dan mendapat prioritas para pengelola kota.

Baca juga:  Pentingnya Kecakapan Literasi Baca-Tulis

Pertama, membangun ketahanan lokal. Ini untuk menjauhkan warga dari bahaya bencana yang timbul seperti kenaikan permukaan laut, banjir, kelangkaan air, kekeringan, kebakaran hutan, dan panas yang ekstrim. Dengan begitu, dapat meminimalisir terjadinya migrasi. Dalam membangun ketahanan lokal ini, sebaiknya diupayakan untuk mencakup solusi-solusi berbasis alam, yang seringkali lebih efektif dan terjangkau. Kedua, mengakomodir pertumbuhan penduduk di masa depan dengan perencanaan kota yang tangguh. Ini mencakup pengintegrasian penilaian dan adaptasi risiko iklim ke dalam perencanaan kota serta pengelolaan lahan tatkala kota terus berkembang, sehingga mampu menekan risiko bahaya iklim yang bakal muncul.

Ketiga, membangun pangkalan data sebagai bagian dari penilaian risiko iklim untuk melindungi masyarakat atau komunitas yang paling rentan. Selain itu, lakukan pemetaan secara akurat terkait dampak krisis iklim pada berbagai demografi untuk merancang investasi keamanan iklim yang adil dan efektif. Keempat, kota perlu memiliki skema pendanaan memadai untuk memfasilitasi migrasi warga secara sukarela maupun non-sukarela sebagai respons antisipatif terhadap bencana terkait krisis iklim.

Kelima, menjamin hak-hak warga pendatang. Terlepas dari status hukumnya, mereka yang melakukan migrasi iklim perlu mendapat akses terhadap hak-hak dasar dan layanan penting, seperti kesehatan, pendidikan, maupun pemukiman. Keenam, melibatkan para pelaku migrasi iklim dalam aksi iklim kota dan aktivitas ekonomi hijau, sehingga mereka dapat berkontribusi secara signifikan terhadap ekonomi kawasan urban. Ada baiknya pula mereka diberikan pelatihan kejuruan dan pelatihan keterampilan ulang agar mampu memaksimalkan potensi mereka.

Baca juga:  SMS "Blast" Melanggar Etika

Ketujuh, melakukan kolaborasi. Masalah krisis iklim dan migrasi iklim menjadi tantangan kita semua. Kolaborasi yang melibatkan banyak pihak mutlak dibutuhkan untuk membangun kebijakan secara nasional maupun internasional, dengan titik tekan pada aspek pendanaan dan adaptasi.

Sejauh ini, masih belum ada cetak biru [blueprint] universal terkait bagaimana menangani persoalan migrasi iklim kawasan urban, baik itu untuk level nasional maupun internasional. Setiap kota pada dasarnya memiliki tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda terkait risiko bencana iklim maupun persoalan migrasi iklim yang dihadapi. Program dan kebijakan di suatu kota belum tentu bisa diduplikasi seutuhnya di kota lainnya.

Kendatipun demikian, yang teramat penting ditekankan yaitu ikhwal pihak-pihak mana saja yang paling rentan terdampak krisis iklim. Mereka inilah yang mesti menjadi prioritas utama setiap program dan kebijakan yang terkait dengan krisis iklim dan migrasi iklim.  Jangan sampai program dan kebijakan yang dibuat justru makin memarjinalkan dan memperburuk kondisi kelompok-kelompok yang paling rentan.

Penulis, Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *